Kayla tidak pernah mengerti jalan pikiran sahabatnya, Adit. Adit bergabung di tim sepak bola SMA mereka dan berjuang mati-matian untuk merebut tempat sebagai kapten, namun begitu posisi itu sudah didapatkannya, mendadak segala upayanya ia lepas. Selain itu, Adit juga belajar keras untuk bisa memperoleh tempat di tim olimpiade Matematika yang mewakili sekolah mereka dan, seperti sepak bola, ia malah mengerjakan olimpiade tersebut dengan asal di tahap pertama. Adit jarang sekali pulang ke rumah, bisa dihitung dengan jari, padahal kedua orang tuanya baik-baik saja. Adit suka mencari masalah di sekolah, namun dia juga disukai dan dikagumi oleh banyak orang karena sifat garangnya. Dan, di balik sifatnya yang kasar serta serampangan, Adit adalah orang yang melankolis. Adit suka hujan.
Sore itu Adit mengetuk pintu kamar Kayla. Ya, memang dia sudah sering datang ke rumah Kayla sampai dianggap anak oleh kedua orang tua Kayla dan dibiarkan berkeliaran seenaknya di rumah Kayla. Namun, Adit tetap tau sopan santun kalau menyangkut barang pribadi, termasuk kamar tidur pemilik asli rumah itu.
Kayla membuka pintu kamarnya setelah hampir terjatuh dari tempat tidur karena kaget mendengar ketukan yang keras. Rasanya ia baru setengah sadar ketika berjalan membuka pintu, sampai berdiri tegak saja susah dan ia harus bersandar pada pintu kamarnya sendiri.
"Jalan, yuk. Gue nggak ada kerjaan," Adit berkata tanpa basa-basi.
Kayla mengibaskan tangan kirinya. "Emang urusan gue lo nggak ada kerjaan?" Kayla berbalik badan dan berjalan pelan ke dalam kamarnya. Ia membiarkan pintu kamarnya terbuka, Adit tetap tidak berani melangkahkan kakinya ke dalam kamar tersebut.
"Please, Kay, ini hari Minggu," pinta Adit masih dengan nada datarnya. Kayla sudah terbiasa dengan sikap sehari-hari Adit yang sangat tidak ekspresif.
"Tidur aja, Dit."
"Masa gue make kamar kakak lo lagi? Emang dia belom balik dari Bandung? Tadi gue liat mobilnya kok di bawah. Oh! Atau lo mau nyuruh gue tidur di kamarnya Ujang lagi?! Tega banget, gila!" Adit nyerocos, masih dengan nada datar yang sama. Walaupun datar, namun Adit hanya bisa ngomong panjang dan asal seperti itu ke Kayla. Kalau ke orang lain dia pasti langsung ke inti permasalahan dengan sikap yang dingin.
Kayla diam sesaat, menatap Adit aneh. "Di rumah lo, Dit?"
Adit langsung diam. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat, menahan segala hal yang tidak pernah dikatakannya dengan jujur kepada Kayla. Ya, hanya satu hal ini yang tidak pernah diceritakan ke Kayla, namun bagi Kayla, Adit seperti menutupi banyak hal.
Kayla menepuk sofa di sisinya. "Sini, Dit."
Adit berjalan masuk dengan sikap yang masih menahan diri. Namun, kemudian, begitu ia mencapai sofa, ia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Adit duduk malas sambil menatap lurus ke luar pintu kamar yang masih terbuka. Mereka memang tidak pernah membiarkan pintu kamar tertutup setiap kali Adit akhirnya masuk ke dalam kamar Kayla.
Kayla memulai pembicaraan. "Tell me, please." Kayla menatapnya dengan lembut dan penuh pengertian. "Kita udah temenan, berapa lama coba? 5 tahun, Dit, dan gue masih sering meraba-raba siapa lo sebenarnya."
Adit menengok. Tatapannya penuh rasa bersalah dan menyesal. Namun, mulutnya masih bungkam. Kemudian ia segera membuang pandangannya ke arah lain, tidak tahan melihat Kayla yang penuh perhatian padanya itu. Tatapannya kembali kaku.
"Really, Dit?" Kayla bersuara memang dengan lembut namun juga penuh dengan kekecewaan, "Wow." Kayla tertawa kecil, tawa ironis, tepatnya. "Lo memang tidak pernah menganggap persahabatan kita serius ya, Dit? Bahkan gue nggak yakin lo menganggap gue penting. Mungkin gue cuman cewek yang-"
"Cukup!" potong Adit, suaranya rendah namun dingin dan tegas, "Lo mau menjelekan diri lo sendiri? Gue nggak mau denger."
Adit berdiri, keluar dari kamarnya dan diikuti Kayla. Adit menuruni tangga rumah, tidak terhentikan. Kayla berhenti di ujung anak tangga paling atas, menatap punggu Adit yang bergerak cepat. Dan mendadak, petir menyambar, suaranya begitu keras. Adit dan Kayla tidak ada yang terkejut.
"Adit, hujan!" untuk pertama kalinya hari itu, suara Kayla meninggi. Kayla kesal. Ia masuk kamar dan membanting pintunya keras-keras.
Suara telpon berbunyi di sisi tempat tidur Kayla. Ia tersentak bangun, menatap ke sekeliling kamarnya dengan waspada. Namun, ketika ia menyadari yang berbunyi adalah telponnya, ia langsung menghela napas lega.
"Halo?"
"Kay, udah tidur?" suara Adit muncul.
Kayla menundukkan kepalanya. "Udahlah, Dit, ini jam 2 pagi. Lo di mana?" tanya Kayla sabar.
Adit diam, seperti yang akhir-akhir ini sering dilakukannya, bungkam.
"Dit, please, bicara," pinta Kayla baik-baik dan penuh permohonan.
"Gue nggak tenang, Kay," Adit akhirnya berbicara, "dan yang bisa bikin gue tenang adalah denger suara hujan atau denger lo ngoceh. Tapi di sini nggak hujan." Sebuah tawa kecil terdengar pelan.
"Lo di mana, Dit?"
"Gue di kamar, Kay, di rumah gue sendiri. Hebat ya gue?" katanya bangga, namun suaranya lemah.
Kayla tersenyum geli mendengar Adit berbicara seperti anak kecil. "Ya udah, tidurlah."
"Ngomong dong, biar gue bisa tidur."
"Ngomong apa?"
"Apa aja, Kay."
Tiba-tiba suara hujan deras terdengar dari balik kaca jendela kamar Kayla. Kayla tersenyum sambil menatap ke luar kaca jendela yang tidak tertutup tirai. Langit malam yang gelap, air hujan yang meninggalkan jejak di kaca. "Hujan, Dit," gumam Kayla pelan.
"Oh ya? Hmm," Adit menghela napas pelan, namun Kayla dapat mendengarnya, "ceritain gue tentang hujannya dong."
Kayla turun dari tempat tidur, bergerak ke arah kaca jendelanya. Kemudian, ia duduk dan menyandarkan sisi kanan kepalanya ke kaca jendela. Kayla melipat kakinya dan memeluknya di dada. Tangan kanannya masih memegang telpon. "Hujannya deres. Butiran air yang nempel di kaca jendela kamar gue besar-besar, tapi cepet banget luruhnya karena terdorong butiran lainnya dari atas. Gue yakin di luar bau tanah basah udah tercium dan udara dingin. Dan setelah ini, langit bersih sampai pagi, ngga akan ada awan yang menutupi matahari pas nanti muncul."
Adit diam. Beberapa kali terdengar suara napasnya. Entah apakah dia sudah tertidur atau belum.
"Dit?"
"Gue baru selesai bikinin lo sesuatu. Besok pagi jangan nangis ataupun marah pas ngeliatnya ya, Kay, ini gue bikin susah payah lo."
"Apaan sih, Dit? Gue nggak ngerti."
"Liat besok pagi. Lo tidur lagi aja, Kay, besokkan sekolah, hari Senin lagi."
"Iya, tapi lo tidur juga ya, Dit. Besok sekolah jugakan?"
"Iya, kan mau ngasih kado kecil ini ke lo, jadi harus masuk dong."
"Jadi penasaran," Kayla tertawa kecil, "tumben banget berbuat manis ke gue."
Adit tertawa pelan. "Good night, Kayla."
"Night, Adit."
Kayla masuk ke dalam kelasnya yang sudah ramai, padahal bel masuk masih 30 menit lagi. Ia berjalan menuju mejanya dan melihat sebuah buku berwarna hitam yang tebal dan besar di atas mejanya. Kayla celingukan kanan dan kiri. Semua orang diam-diam memperhatikannya, namun tidak ada yang mau diketahui oleh Kayla, walaupun Kayla sudah menyadarinya. Kayla duduk dan meletakan tasnya.
Kayla mulai membuka buku tersebut. Di halaman pertamanya ada dua foto Kayla dan Adit. Di foto yang atas tertuliskan "our first photograph..." dan di foto yang di bawahnya bertuliskan "our last photograph...". Di kedua foto itu, posisi, ekspresi, segala halnya bisa sama. Kayla baru menyadari, dua hari yang lalu Adit ngotot minta foto dengan gaya yang sesuai dengan keinginannya.
Kayla membalikan halaman tersebut. Di sisi halaman sebelah kiri terdapat tulisan di paling atas "First Year", kemudian dua sisi halaman tersebut diisi dengan foto-foto ketika Kayla dan Adit sedang beraktifitas bersama, baik foto Kayla sendiri, Adit sendiri, ataupun mereka sedang berdua. Ternyata foto-foto tersebut adalah foto-foto yang dihasilkan pada tahun pertama persahabatan mereka. Ketika membalikan halaman demi halaman, di atasnya berjudul mulai dari "Second Year" sampai akhirnya "Fifth Year". Dan semuanya berisikan foto-foto mereka sesuai dengan judul halaman tersebut.
Kayla tidak bisa menutupi senyumannya melihat kumpulan foto yang kadang disertai dengan kalimat-kalimat pendek yang bodoh dan lucu.
Sampailah Kayla pada halaman terakhir buku, yang ternyata seluruhnya buatan tangan sendiri termasuk kertas dan bentuk bukunya. Di halaman terakhir tersebut ternyata merupakan macam-macam ungkapan hati Adit kepada Kayla. Di tengah halaman terakhir itu terdapat beberapa susunan kalimat yang paling panjang dari susunan kalimat lainnya.
Dear Kayla,
5 tahun sudah berlalu. You are too good for me. Gue nggak akan pernah bisa jadi sahabat yang baik buat lo, apalagi jadi pacar yang baik. Gue aja bahkan nggak bisa menyatakan apa yang sesungguhnya ingin sekali gue sampaikan. Bukan karena gue malu, tapi karena ego gue terlalu tinggi. Gue takut, ketika gue mulai mengekang lo dengan perasaan gue, suatu saat nanti lo akan pergi. Gue nggak mau lo pergi, maka gue nggak pernah mau lo membaca diri gue lebih dalam. Dan sekarang malah gue yang harus pergi ninggalin lo. Hahaha gue tau apa yang akan lo lakukan. Lo akan marah sama gue, bahkan sampe nangis sangking emosinya. Lo akan mukul gue sekenceng mungkin, tapi gue nggak akan berkutik di hadapan lo. Gue nggak bisa menghadapi semua itu, jadi gue pagi-pagi datang ke sekolah hanya untuk meletakan buku ini di atas meja lo. Bukan karena gue takut mendengar jeritan dan merasakan pukulan lo, tapi karena gue nggak akan kuat ngeliat kesedihan lo.
Mungkin kalimat-kalimat gue di atas masih ngambang, tapi sebentar lagi akan ada orang yang ngasih tau lo sebenarnya. Gue nggak tau apakah gue akan kembali atau enggak, tapi gue akan selalu ngelakuin yang terbaik untuk lo, bahkan dari tempat yang terpisah jauh banget dari lo.
Maaf karena selama ini gue bersikap egois, tapi gue selalu menganggap lo penting. Gue selalu bahagia bisa ada di sisi lo, nemenin lo belajar di rumah lo, denger lo ngoceh tentang hujan, jadi orang pertama yang ngetuk pintu kamar lo dan ngeliat muka baru bangun tidur lo, dan masih banyak lagi. Itu semua akan terus terekam di kepala gue, bahkan mungkin nanti ketika kita udah berkeluarga hahaha
Gue sayang sama lo.
Adit
Kayla masih tidak mengerti dengan maksud kalimat itu. Tanpa disadarinya Brian, teman dekat Adit, sudah duduk di depannya. Ia menatap Kayla dengan sedih. Dan Kayla langsung merasa tidak enak.
"Dia hanya pura-pura bermasalah selama ini demi bisa terus jalan sama lo dan diperhatiin sama lo," Brian membuka pembicaraan.
"Dia ke mana, Bri?" tanya Kayla lemah.
Brian menunduk, sambil menarik napas panjang. "Orang tuanya Adit udah meninggal 10 tahun yang lalu, dia tinggal sama kakak laki-lakinya doang dan dia juga sibuk kerja."
Kayla tercengang. Kayla sama sekali tidak pernah mendengar Adit bercerita tentang orang tuanya dan Kayla juga tidak pernah mendengar berita buruk maupun baik mengenai orang tua Adit, karena itu ia menyimpulkan bahwa keluarganya Adit baik-baik saja. Memang orang yang selalu menelpon untuk menanyakan keadaannya adalah kakak laki-lakinya, tapi Kayla tidak pernah berpikir macem-macem.
"Warisan keluarganya Adit besar banget, Kay, semuanya dikelola sama kakaknya dan kakaknya berharap Adit juga ikut mengelola perusahaan keluarga mereka. Karena itu, pagi ini, setelah di naro buku ini di meja lo, dia berangkat naik pesawat ke Amsterdam. Dia ngelanjutin sekolah di sana."
Kayla lebih tercengang lagi mendengar berita ini. Adit pergi ke Belanda bahkan tanpa berkata apapun pada Kayla.
"Kakaknya adalah satu-satunya keluarga yang dia punya, Kay, dia kehilangan bimbingan karena kakaknya juga kewalahan sendiri mengurus aset keluarga mereka, sedangkan dia malah menjalani semuanya dengan main-main. Bulan lalu kakaknya minta dia untuk pergi ke Belanda dan belajar di sana, dia nggak bisa nolak, dia ngerasa dia harus ngebayar semua usaha kerasa kakaknya."
Brian mengangkat kepalanya, menatap Kayla yang begitu shock lekat-lekat. "Dia orang yang baik, Kay, dia nggak pernah bikin masalah dari kecil, sampai orang tuanya meninggal. Dan lo mengembalikan dia yang sebenarnya, Kay."
"Maksud lo?" Kayla akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya.
"Dia udah sadar kalau dia menyia-nyiakan hidupnya dari sejak tahun pertama kalian sahabatan, tapi dia pura-pura masih bermasalah supaya lo mau ngebimbing dia terus," Brian menatap Kayla yang bingung, ia mengerti, "nggak ada yang ngerti jalan pikirannya. Adit itu manusia ajaib." Brian tertawa kecil mengenang sahabatnya.
"Lo tau ini kapan?" tanya Kayla, kali ini suara terdengar dingin karena ia merasa Brian bahkan lebih tau tentang kisah Adit daripada dia.
Brian menggeleng. "Tadi pagi hampir jam 3an, dia nelpon gue dan dia cerita semuanya ke gue. Dia ingin gue yang menceritakannya ke lo, karena dia nggak yakin sanggup cerita langsung, bahkan nulis di dalam buku ini pun belum tentu sanggup."
Brian berdiri, menepuk bahu Kayla. "Dia jatuh cinta sama lo, Kay." Kemudian Brian meninggalkan ruangan kelas yang sunyi itu.
Bel masuk berbunyi.
7 tahun kemudian
Seorang laki-laki muncul di depan toko bunga milik Kayla. Ia memperhatikan dari balik pintu kaca. Kayla tersenyum pada pegawai tokonya sambil merangkai bunga. Laki-laki itu memasang kaca matanya untuk melihat lebih jelas lagi. Sesaat ia tersenyum, Kayla yang ramah dan selalu ceria, tidak pernah berubah.
Laki-laki itu melangkah masuk. "Permisi, saya mau beli bunga untuk calon istri saya," katanya dengan nada yang tenang.
Kayla dan seluruh pegawainya menengok ke arah laki-laki itu. Seorang perempuan langsung dengan sigapnya melayani laki-laki itu. Ia bertanya kira-kira bunga apa yang ingin di belinya.
"Saya udah lama nggak ketemu calon istri saya, tapi seinget saya, dia suka mawar putih," kata laki-laki itu tenang. Ia melirik ke arah Kayla yang terdiam menatapnya, kemudian ia tersenyum sopan pada Kayla.
"Beli berapa tangkai, pak? Mau dirangkaikan atau polos saja?"
"Saya beli 24 tangkai, sesuai sama umur kami. Tolong dirangkaikan ya, mba."
Pegawai perempuan itu mengambil berbagai peralatan dan bunga-bunga kecil untuk menghiasi rangkaian bunga mawar putih itu. Dia mulai bekerja. Sementara, laki-laki itu melihat ke sekeliling.
Kayla langsung buang muka. Wajahnya pucat pasi, tidak mempercayai apa yang ada di dalam kepalanya. Ia kemudian masuk ke dalam ruangan di balik kasir. Kayla terduduk di lantai, diam, berkutat dengan pikirannya. Mendadak kepalanya pusing. Kayla tau bahwa ia tidak sakit, hanya saja terlalu banyak yang dipikirkannya. Kayla cukup lama diam di dalam ruangan tersebut. Sampai akhirnya ia kembali bangkit berdiri dan mendorong keras pintu ruangan tersebut keluar.
Laki-laki itu baru saja menerima rangkaian bunganya. Ia dapat membaca apa yang akan dilakukan Kayla dari ekspresi di wajahnya. Laki-laki itu kembali menyerahkan bunganya kepada pegawai yang melayaninya.
Kayla menghampirinya cepat dan langsung mendorongnya keras-keras. Tubuh laki-laki itu, yang masih jauh lebih besar darinya, tidak bergerak. Kayla terus mendorongnya, sementara laki-laki itu diam dan tidak melawan.
"Lo?! Beraninya lo munculin wajah di depan gue setelah 7 tahun! Beraninya lo berlagak seolah-olah nggak kenal sama gue! Lo nggak tau berapa lama gue harus nahan sakit ini, Dit! Lo nggak tau berapa lama gue harus pura-pura terbiasa dengan kepergian lo sampai akhirnya gue beneran terbiasa! Dan lo masuk ke tempat ini dengan santainya, bikin semuanya jadi sakit lagi, Dit! Makin sakit!!" Kayla menangis, namun emosinya masih meluap-luap.
"Gue sendirian, Dit! Gue merasa dibohongin! Lo nggak pernah nelpon, bahkan lo nggak pernah pamit! Apa lo pikir karena lo pergi tanpa izin, lo bisa masuk lagi dalam kehidupan gue tanpa izin?! Gue benci sama lo! Gue...capek!" Kayla jatuh lunglai di atas lantai, badannya lemas, wajahnya pucat.
Adit langsung berlutut di sisinya dan memeluknya. Hatinya ikutan sakit melihat semua ini. "Maafin gue, Kay," pelukannya semakin erat dan isakan tangis Kayla semakin kencang, "gue nggak punya kalimat lain karena gue tau gue nggak punya alasan yang tepat untuk mengelak dari semua ini. Maafin gue, Kayla, maafin gue. Gue akan terus minta maaf sama lo, seumur hidup gue, Kay. Dan gue akan menebus kepergian gue serta segala rasa sakit yang harus lo tanggung sendiri."
Adit melepaskan pelukannya. Ia berdiri dan mengambil bunga dari tangan pegawai yang tercengang melihat adegan di depannya itu. Kemudian Adit memasukan tangannya ke dalam kantong celana bahannya. Ia mengeluarkan kotak kecil berwarna biru. Adit menarik napas panjang, seperti sedang mengatasi rasa groginya. Kemudian, Adit berlutut satu kaki di depan Kayla yang masih terduduk di lantai walaupun tangisnya sudah habis namun matanya masih basah.
"Gue terbang berbelas-belas jam dari Amsterdam dan langsung menuju ke tempat ini dari bandara untuk ketemu calon istri gue. Dia dulu sahabat gue, tapi gue malah ngebohongin dia, membuat sakit hati dan pergi begitu saja. Yang dia tau, gue brengsek, gue tukang bohong. Yang dia nggak tau, gue nanggung rasa sakit yang sama dengan di selama 7 tahun terakhir, terpisah dari dia. Sampai akhirnya, kurang dari 48 jam yang lalu, gue memutuskan untuk beli sebuah cincin dan tiket pesawat ke Jakarta." Adit menatap Kayla dengan senyum lebar di wajahnya. "Gue selalu tau lo akan jadi istri yang baik sejak dulu, Kay."
Kayla menatap cincin itu dan Adit bergantian. Tampak perasaan tidak percaya, namun juga ragu di matanya.
"Kita bisa mulai dari awal, Kay, dan gue bersumpah kalau kali ini nggak akan ada kebohongan di antara kita. Kali ini, gue akan jadi gue yang sebenarnya, gue akan kenalin lo sama kakak gue, gue akan melibatkan lo dalam hidup gue lebih sering karena sebentar lagi, kalau lo menerima cincin ini, lo akan jadi hidup gue," Adit kembali menarik napas panjang, menenangkan dirinya, "so, Kayla, will you marry this stupid man?" Adit membuka kotak cincin tersebu dengan tangan kirinya dan menggenggam bunga mawar putih dengan tangan kanannya.
Kayla menutup mulutnya. Ia tidak percaya. Matanya basah lagi, tapi kali ini bukan tangis marah, namun tangis bahagia. Kayla mengangguk cepat dan yakin kemudian segera memeluk Adit sampai mereka berdua jatuh di atas lantai. Mereka tertawa.
Adit melihat ke cincin yang sedang dipegangnya. Ia melepaskannya dari sangkutan di kotaknya. Sesaat ia mengangkat cincin itu dan melihatnya baik-baik. Kemudian ia menarik tangan kiri Kayla yang tiduran di sebelahnya dan memasangkannya pada jari manis. Kayla tersenyum sambil melihat cincin yang sudah tersematkan di jarinya.
"Terima kasih ya, Dit, ini obat terbaik yang pernah gue dapatkan."
"I love you, Kayla," bisik Adit jelas di telinga Kayla.
Mendadak hujan turun di luar toko tersebut. Kayla dan Adit bangkit berdiri.
"Hah, hujan, Kay!" kata Adit bersemangat sambil memperhatikan setiap tetesan hujan.
Kayla memeluk laki-laki yang sudah sangat berubah itu, penampilannya dan sikapnya. "I love you too, Adit."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar