Rabu, 27 April 2011

Hujan

Kayla tidak pernah mengerti jalan pikiran sahabatnya, Adit. Adit bergabung di tim sepak bola SMA mereka dan berjuang mati-matian untuk merebut tempat sebagai kapten, namun begitu posisi itu sudah didapatkannya, mendadak segala upayanya ia lepas. Selain itu, Adit juga belajar keras untuk bisa memperoleh tempat di tim olimpiade Matematika yang mewakili sekolah mereka dan, seperti sepak bola, ia malah mengerjakan olimpiade tersebut dengan asal di tahap pertama. Adit jarang sekali pulang ke rumah, bisa dihitung dengan jari, padahal kedua orang tuanya baik-baik saja. Adit suka mencari masalah di sekolah, namun dia juga disukai dan dikagumi oleh banyak orang karena sifat garangnya. Dan, di balik sifatnya yang kasar serta serampangan, Adit adalah orang yang melankolis. Adit suka hujan.
Sore itu Adit mengetuk pintu kamar Kayla. Ya, memang dia sudah sering datang ke rumah Kayla sampai dianggap anak oleh kedua orang tua Kayla dan dibiarkan berkeliaran seenaknya di rumah Kayla. Namun, Adit tetap tau sopan santun kalau menyangkut barang pribadi, termasuk kamar tidur pemilik asli rumah itu.
Kayla membuka pintu kamarnya setelah hampir terjatuh dari tempat tidur karena kaget mendengar ketukan yang keras. Rasanya ia baru setengah sadar ketika berjalan membuka pintu, sampai berdiri tegak saja susah dan ia harus bersandar pada pintu kamarnya sendiri.
"Jalan, yuk. Gue nggak ada kerjaan," Adit berkata tanpa basa-basi.
Kayla mengibaskan tangan kirinya. "Emang urusan gue lo nggak ada kerjaan?" Kayla berbalik badan dan berjalan pelan ke dalam kamarnya. Ia membiarkan pintu kamarnya terbuka, Adit tetap tidak berani melangkahkan kakinya ke dalam kamar tersebut.
"Please, Kay, ini hari Minggu," pinta Adit masih dengan nada datarnya. Kayla sudah terbiasa dengan sikap sehari-hari Adit yang sangat tidak ekspresif.
"Tidur aja, Dit."
"Masa gue make kamar kakak lo lagi? Emang dia belom balik dari Bandung? Tadi gue liat mobilnya kok di bawah. Oh! Atau lo mau nyuruh gue tidur di kamarnya Ujang lagi?! Tega banget, gila!" Adit nyerocos, masih dengan nada datar yang sama. Walaupun datar, namun Adit hanya bisa ngomong panjang dan asal seperti itu ke Kayla. Kalau ke orang lain dia pasti langsung ke inti permasalahan dengan sikap yang dingin.
Kayla diam sesaat, menatap Adit aneh. "Di rumah lo, Dit?"
Adit langsung diam. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat, menahan segala hal yang tidak pernah dikatakannya dengan jujur kepada Kayla. Ya, hanya satu hal ini yang tidak pernah diceritakan ke Kayla, namun bagi Kayla, Adit seperti menutupi banyak hal.
Kayla menepuk sofa di sisinya. "Sini, Dit."
Adit berjalan masuk dengan sikap yang masih menahan diri. Namun, kemudian, begitu ia mencapai sofa, ia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Adit duduk malas sambil menatap lurus ke luar pintu kamar yang masih terbuka. Mereka memang tidak pernah membiarkan pintu kamar tertutup setiap kali Adit akhirnya masuk ke dalam kamar Kayla.
Kayla memulai pembicaraan. "Tell me, please." Kayla menatapnya dengan lembut dan penuh pengertian. "Kita udah temenan, berapa lama coba? 5 tahun, Dit, dan gue masih sering meraba-raba siapa lo sebenarnya."
Adit menengok. Tatapannya penuh rasa bersalah dan menyesal. Namun, mulutnya masih bungkam. Kemudian ia segera membuang pandangannya ke arah lain, tidak tahan melihat Kayla yang penuh perhatian padanya itu. Tatapannya kembali kaku.
"Really, Dit?" Kayla bersuara memang dengan lembut namun juga penuh dengan kekecewaan, "Wow." Kayla tertawa kecil, tawa ironis, tepatnya. "Lo memang tidak pernah menganggap persahabatan kita serius ya, Dit? Bahkan gue nggak yakin lo menganggap gue penting. Mungkin gue cuman cewek yang-"
"Cukup!" potong Adit, suaranya rendah namun dingin dan tegas, "Lo mau menjelekan diri lo sendiri? Gue nggak mau denger."
Adit berdiri, keluar dari kamarnya dan diikuti Kayla. Adit menuruni tangga rumah, tidak terhentikan. Kayla berhenti di ujung anak tangga paling atas, menatap punggu Adit yang bergerak cepat. Dan mendadak, petir menyambar, suaranya begitu keras. Adit dan Kayla tidak ada yang terkejut.
"Adit, hujan!" untuk pertama kalinya hari itu, suara Kayla meninggi. Kayla kesal. Ia masuk kamar dan membanting pintunya keras-keras.

Suara telpon berbunyi di sisi tempat tidur Kayla. Ia tersentak bangun, menatap ke sekeliling kamarnya dengan waspada. Namun, ketika ia menyadari yang berbunyi adalah telponnya, ia langsung menghela napas lega.
"Halo?"
"Kay, udah tidur?" suara Adit muncul.
Kayla menundukkan kepalanya. "Udahlah, Dit, ini jam 2 pagi. Lo di mana?" tanya Kayla sabar.
Adit diam, seperti yang akhir-akhir ini sering dilakukannya, bungkam.
"Dit, please, bicara," pinta Kayla baik-baik dan penuh permohonan.
"Gue nggak tenang, Kay," Adit akhirnya berbicara, "dan yang bisa bikin gue tenang adalah denger suara hujan atau denger lo ngoceh. Tapi di sini nggak hujan." Sebuah tawa kecil terdengar pelan.
"Lo di mana, Dit?"
"Gue di kamar, Kay, di rumah gue sendiri. Hebat ya gue?" katanya bangga, namun suaranya lemah.
Kayla tersenyum geli mendengar Adit berbicara seperti anak kecil. "Ya udah, tidurlah."
"Ngomong dong, biar gue bisa tidur."
"Ngomong apa?"
"Apa aja, Kay."
Tiba-tiba suara hujan deras terdengar dari balik kaca jendela kamar Kayla. Kayla tersenyum sambil menatap ke luar kaca jendela yang tidak tertutup tirai. Langit malam yang gelap, air hujan yang meninggalkan jejak di kaca. "Hujan, Dit," gumam Kayla pelan.
"Oh ya? Hmm," Adit menghela napas pelan, namun Kayla dapat mendengarnya, "ceritain gue tentang hujannya dong."
Kayla turun dari tempat tidur, bergerak ke arah kaca jendelanya. Kemudian, ia duduk dan menyandarkan sisi kanan kepalanya ke kaca jendela. Kayla melipat kakinya dan memeluknya di dada. Tangan kanannya masih memegang telpon. "Hujannya deres. Butiran air yang nempel di kaca jendela kamar gue besar-besar, tapi cepet banget luruhnya karena terdorong butiran lainnya dari atas. Gue yakin di luar bau tanah basah udah tercium dan udara dingin. Dan setelah ini, langit bersih sampai pagi, ngga akan ada awan yang menutupi matahari pas nanti muncul."
Adit diam. Beberapa kali terdengar suara napasnya. Entah apakah dia sudah tertidur atau belum.
"Dit?"
"Gue baru selesai bikinin lo sesuatu. Besok pagi jangan nangis ataupun marah pas ngeliatnya ya, Kay, ini gue bikin susah payah lo."
"Apaan sih, Dit? Gue nggak ngerti."
"Liat besok pagi. Lo tidur lagi aja, Kay, besokkan sekolah, hari Senin lagi."
"Iya, tapi lo tidur juga ya, Dit. Besok sekolah jugakan?"
"Iya, kan mau ngasih kado kecil ini ke lo, jadi harus masuk dong."
"Jadi penasaran," Kayla tertawa kecil, "tumben banget berbuat manis ke gue."
Adit tertawa pelan. "Good night, Kayla."
"Night, Adit."

Kayla masuk ke dalam kelasnya yang sudah ramai, padahal bel masuk masih 30 menit lagi. Ia berjalan menuju mejanya dan melihat sebuah buku berwarna hitam yang tebal dan besar di atas mejanya. Kayla celingukan kanan dan kiri. Semua orang diam-diam memperhatikannya, namun tidak ada yang mau diketahui oleh Kayla, walaupun Kayla sudah menyadarinya. Kayla duduk dan meletakan tasnya.
Kayla mulai membuka buku tersebut. Di halaman pertamanya ada dua foto Kayla dan Adit. Di foto yang atas tertuliskan "our first photograph..." dan di foto yang di bawahnya bertuliskan "our last photograph...". Di kedua foto itu, posisi, ekspresi, segala halnya bisa sama. Kayla baru menyadari, dua hari yang lalu Adit ngotot minta foto dengan gaya yang sesuai dengan keinginannya.
Kayla membalikan halaman tersebut. Di sisi halaman sebelah kiri terdapat tulisan di paling atas "First Year", kemudian dua sisi halaman tersebut diisi dengan foto-foto ketika Kayla dan Adit sedang beraktifitas bersama, baik foto Kayla sendiri, Adit sendiri, ataupun mereka sedang berdua. Ternyata foto-foto tersebut adalah foto-foto yang dihasilkan pada tahun pertama persahabatan mereka. Ketika membalikan halaman demi halaman, di atasnya berjudul mulai dari "Second Year" sampai akhirnya "Fifth Year". Dan semuanya berisikan foto-foto mereka sesuai dengan judul halaman tersebut.
Kayla tidak bisa menutupi senyumannya melihat kumpulan foto yang kadang disertai dengan kalimat-kalimat pendek yang bodoh dan lucu.
Sampailah Kayla pada halaman terakhir buku, yang ternyata seluruhnya buatan tangan sendiri termasuk kertas dan bentuk bukunya. Di halaman terakhir tersebut ternyata merupakan macam-macam ungkapan hati Adit kepada Kayla. Di tengah halaman terakhir itu terdapat beberapa susunan kalimat yang paling panjang dari susunan kalimat lainnya.

Dear Kayla,
5 tahun sudah berlalu. You are too good for me. Gue nggak akan pernah bisa jadi sahabat yang baik buat lo, apalagi jadi pacar yang baik. Gue aja bahkan nggak bisa menyatakan apa yang sesungguhnya ingin sekali gue sampaikan. Bukan karena gue malu, tapi karena ego gue terlalu tinggi. Gue takut, ketika gue mulai mengekang lo dengan perasaan gue, suatu saat nanti lo akan pergi. Gue nggak mau lo pergi, maka gue nggak pernah mau lo membaca diri gue lebih dalam. Dan sekarang malah gue yang harus pergi ninggalin lo. Hahaha gue tau apa yang akan lo lakukan. Lo akan marah sama gue, bahkan sampe nangis sangking emosinya. Lo akan mukul gue sekenceng mungkin, tapi gue nggak akan berkutik di hadapan lo. Gue nggak bisa menghadapi semua itu, jadi gue pagi-pagi datang ke sekolah hanya untuk meletakan buku ini di atas meja lo. Bukan karena gue takut mendengar jeritan dan merasakan pukulan lo, tapi karena gue nggak akan kuat ngeliat kesedihan lo.
Mungkin kalimat-kalimat gue di atas masih ngambang, tapi sebentar lagi akan ada orang yang ngasih tau lo sebenarnya. Gue nggak tau apakah gue akan kembali atau enggak, tapi gue akan selalu ngelakuin yang terbaik untuk lo, bahkan dari tempat yang terpisah jauh banget dari lo.
Maaf karena selama ini gue bersikap egois, tapi gue selalu menganggap lo penting. Gue selalu bahagia bisa ada di sisi lo, nemenin lo belajar di rumah lo, denger lo ngoceh tentang hujan, jadi orang pertama yang ngetuk pintu kamar lo dan ngeliat muka baru bangun tidur lo, dan masih banyak lagi. Itu semua akan terus terekam di kepala gue, bahkan mungkin nanti ketika kita udah berkeluarga hahaha
Gue sayang sama lo.


Adit

Kayla masih tidak mengerti dengan maksud kalimat itu. Tanpa disadarinya Brian, teman dekat Adit, sudah duduk di depannya. Ia menatap Kayla dengan sedih. Dan Kayla langsung merasa tidak enak.
"Dia hanya pura-pura bermasalah selama ini demi bisa terus jalan sama lo dan diperhatiin sama lo," Brian membuka pembicaraan.
"Dia ke mana, Bri?" tanya Kayla lemah.
Brian menunduk, sambil menarik napas panjang. "Orang tuanya Adit udah meninggal 10 tahun yang lalu, dia tinggal sama kakak laki-lakinya doang dan dia juga sibuk kerja."
Kayla tercengang. Kayla sama sekali tidak pernah mendengar Adit bercerita tentang orang tuanya dan Kayla juga tidak pernah mendengar berita buruk maupun baik mengenai orang tua Adit, karena itu ia menyimpulkan bahwa keluarganya Adit baik-baik saja. Memang orang yang selalu menelpon untuk menanyakan keadaannya adalah kakak laki-lakinya, tapi Kayla tidak pernah berpikir macem-macem.
"Warisan keluarganya Adit besar banget, Kay, semuanya dikelola sama kakaknya dan kakaknya berharap Adit juga ikut mengelola perusahaan keluarga mereka. Karena itu, pagi ini, setelah di naro buku ini di meja lo, dia berangkat naik pesawat ke Amsterdam. Dia ngelanjutin sekolah di sana."
Kayla lebih tercengang lagi mendengar berita ini. Adit pergi ke Belanda bahkan tanpa berkata apapun pada Kayla.
"Kakaknya adalah satu-satunya keluarga yang dia punya, Kay, dia kehilangan bimbingan karena kakaknya juga kewalahan sendiri mengurus aset keluarga mereka, sedangkan dia malah menjalani semuanya dengan main-main. Bulan lalu kakaknya minta dia untuk pergi ke Belanda dan belajar di sana, dia nggak bisa nolak, dia ngerasa dia harus ngebayar semua usaha kerasa kakaknya."
 Brian mengangkat kepalanya, menatap Kayla yang begitu shock lekat-lekat. "Dia orang yang baik, Kay, dia nggak pernah bikin masalah dari kecil, sampai orang tuanya meninggal. Dan lo mengembalikan dia yang sebenarnya, Kay."
"Maksud lo?" Kayla akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya.
"Dia udah sadar kalau dia menyia-nyiakan hidupnya dari sejak tahun pertama kalian sahabatan, tapi dia pura-pura masih bermasalah supaya lo mau ngebimbing dia terus," Brian menatap Kayla yang bingung, ia mengerti, "nggak ada yang ngerti jalan pikirannya. Adit itu manusia ajaib." Brian tertawa kecil mengenang sahabatnya.
"Lo tau ini kapan?" tanya Kayla, kali ini suara terdengar dingin karena ia merasa Brian bahkan lebih tau tentang kisah Adit daripada dia.
Brian menggeleng. "Tadi pagi hampir jam 3an, dia nelpon gue dan dia cerita semuanya ke gue. Dia ingin gue yang menceritakannya ke lo, karena dia nggak yakin sanggup cerita langsung, bahkan nulis di dalam buku ini pun belum tentu sanggup."
Brian berdiri, menepuk bahu Kayla. "Dia jatuh cinta sama lo, Kay." Kemudian Brian meninggalkan ruangan kelas yang sunyi itu.
Bel masuk berbunyi.

7 tahun kemudian

Seorang laki-laki muncul di depan toko bunga milik Kayla. Ia memperhatikan dari balik pintu kaca. Kayla tersenyum pada pegawai tokonya sambil merangkai bunga. Laki-laki itu memasang kaca matanya untuk melihat lebih jelas lagi. Sesaat ia tersenyum, Kayla yang ramah dan selalu ceria, tidak pernah berubah.
Laki-laki itu melangkah masuk. "Permisi, saya mau beli bunga untuk calon istri saya," katanya dengan nada yang tenang.
Kayla dan seluruh pegawainya menengok ke arah laki-laki itu. Seorang perempuan langsung dengan sigapnya melayani laki-laki itu. Ia bertanya kira-kira bunga apa yang ingin di belinya.
"Saya udah lama nggak ketemu calon istri saya, tapi seinget saya, dia suka mawar putih," kata laki-laki itu tenang. Ia melirik ke arah Kayla yang terdiam menatapnya, kemudian ia tersenyum sopan pada Kayla.
"Beli berapa tangkai, pak? Mau dirangkaikan atau polos saja?"
"Saya beli 24 tangkai, sesuai sama umur kami. Tolong dirangkaikan ya, mba."
Pegawai perempuan itu mengambil berbagai peralatan dan bunga-bunga kecil untuk menghiasi rangkaian bunga mawar putih itu. Dia mulai bekerja. Sementara, laki-laki itu melihat ke sekeliling.
Kayla langsung buang muka. Wajahnya pucat pasi, tidak mempercayai apa yang ada di dalam kepalanya. Ia kemudian masuk ke dalam ruangan di balik kasir. Kayla terduduk di lantai, diam, berkutat dengan pikirannya. Mendadak kepalanya pusing. Kayla tau bahwa ia tidak sakit, hanya saja terlalu banyak yang dipikirkannya. Kayla cukup lama diam di dalam ruangan tersebut. Sampai akhirnya ia kembali bangkit berdiri dan mendorong keras pintu ruangan tersebut keluar.
Laki-laki itu baru saja menerima rangkaian bunganya. Ia dapat membaca apa yang akan dilakukan Kayla dari ekspresi di wajahnya. Laki-laki itu kembali menyerahkan bunganya kepada pegawai yang melayaninya.
Kayla menghampirinya cepat dan langsung mendorongnya keras-keras. Tubuh laki-laki itu, yang masih jauh lebih besar darinya, tidak bergerak. Kayla terus mendorongnya, sementara laki-laki itu diam dan tidak melawan.
"Lo?! Beraninya lo munculin wajah di depan gue setelah 7 tahun! Beraninya lo berlagak seolah-olah nggak kenal sama gue! Lo nggak tau berapa lama gue harus nahan sakit ini, Dit! Lo nggak tau berapa lama gue harus pura-pura terbiasa dengan kepergian lo sampai akhirnya gue beneran terbiasa! Dan lo masuk ke tempat ini dengan santainya, bikin semuanya jadi sakit lagi, Dit! Makin sakit!!" Kayla menangis, namun emosinya masih meluap-luap.
"Gue sendirian, Dit! Gue merasa dibohongin! Lo nggak pernah nelpon, bahkan lo nggak pernah pamit! Apa lo pikir karena lo pergi tanpa izin, lo bisa masuk lagi dalam kehidupan gue tanpa izin?! Gue benci sama lo! Gue...capek!" Kayla jatuh lunglai di atas lantai, badannya lemas, wajahnya pucat.
Adit langsung berlutut di sisinya dan memeluknya. Hatinya ikutan sakit melihat semua ini. "Maafin gue, Kay," pelukannya semakin erat dan isakan tangis Kayla semakin kencang, "gue nggak punya kalimat lain karena gue tau gue nggak punya alasan yang tepat untuk mengelak dari semua ini. Maafin gue, Kayla, maafin gue. Gue akan terus minta maaf sama lo, seumur hidup gue, Kay. Dan gue akan menebus kepergian gue serta segala rasa sakit yang harus lo tanggung sendiri."
Adit melepaskan pelukannya. Ia berdiri dan mengambil bunga dari tangan pegawai yang tercengang melihat adegan di depannya itu. Kemudian Adit memasukan tangannya ke dalam kantong celana bahannya. Ia mengeluarkan kotak kecil berwarna biru. Adit menarik napas panjang, seperti sedang mengatasi rasa groginya. Kemudian, Adit berlutut satu kaki di depan Kayla yang masih terduduk di lantai walaupun tangisnya sudah habis namun matanya masih basah.
"Gue terbang berbelas-belas jam dari Amsterdam dan langsung menuju ke tempat ini dari bandara untuk ketemu calon istri gue. Dia dulu sahabat gue, tapi gue malah ngebohongin dia, membuat sakit hati dan pergi begitu saja. Yang dia tau, gue brengsek, gue tukang bohong. Yang dia nggak tau, gue nanggung rasa sakit yang sama dengan di selama 7 tahun terakhir, terpisah dari dia. Sampai akhirnya, kurang dari 48 jam yang lalu, gue memutuskan untuk beli sebuah cincin dan tiket pesawat ke Jakarta." Adit menatap Kayla dengan senyum lebar di wajahnya. "Gue selalu tau lo akan jadi istri yang baik sejak dulu, Kay."
Kayla menatap cincin itu dan Adit bergantian. Tampak perasaan tidak percaya, namun juga ragu di matanya.
"Kita bisa mulai dari awal, Kay, dan gue bersumpah kalau kali ini nggak akan ada kebohongan di antara kita. Kali ini, gue akan jadi gue yang sebenarnya, gue akan kenalin lo sama kakak gue, gue akan melibatkan lo dalam hidup gue lebih sering karena sebentar lagi, kalau lo menerima cincin ini, lo akan jadi hidup gue," Adit kembali menarik napas panjang, menenangkan dirinya, "so, Kayla, will you marry this stupid man?" Adit membuka kotak cincin tersebu dengan tangan kirinya dan menggenggam bunga mawar putih dengan tangan kanannya.
Kayla menutup mulutnya. Ia tidak percaya. Matanya basah lagi, tapi kali ini bukan tangis marah, namun tangis bahagia. Kayla mengangguk cepat dan yakin kemudian segera memeluk Adit sampai mereka berdua jatuh di atas lantai. Mereka tertawa.
Adit melihat ke cincin yang sedang dipegangnya. Ia melepaskannya dari sangkutan di kotaknya. Sesaat ia mengangkat cincin itu dan melihatnya baik-baik. Kemudian ia menarik tangan kiri Kayla yang tiduran di sebelahnya dan memasangkannya pada jari manis. Kayla tersenyum sambil melihat cincin yang sudah tersematkan di jarinya.
"Terima kasih ya, Dit, ini obat terbaik yang pernah gue dapatkan."
"I love you, Kayla," bisik Adit jelas di telinga Kayla.
Mendadak hujan turun di luar toko tersebut. Kayla dan Adit bangkit berdiri.
"Hah, hujan, Kay!" kata Adit bersemangat sambil memperhatikan setiap tetesan hujan.
Kayla memeluk laki-laki yang sudah sangat berubah itu, penampilannya dan sikapnya. "I love you too, Adit."

Selasa, 15 Februari 2011

Hai!

Hahahahaha! Akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan identita asli saya :)
Devita Rahma, ya, saya sekolah di SMA Negeri 8 Jakarta angkatan 2012. Berbagai hal dapat dilihat di bagian penjelasan.
Mohon maaf untuk segala drama "merahasiakan identitas", saya hanya sedikit malu dengan karya saya.

Hope you enjoy this blog

Regards,
Rahma

Senin, 07 Februari 2011

Everything Part 4

Raya memasuki kantin sambil selingak-celinguk mencari Kenny. Sudah seharian Kenny tidak muncul dan tidak membalas SMS-nya semenjak dua hari yang lalu setelah mereka pulang dari Bandung. Kenny menghilang tidak ada kabar.
Raya duduk sendirian di meja pojok kantin. Sebuah SMS masuk. Hey, how are you?
Raya segera memencet tombol reply. Bisa tinggalin gue sendiri?
Tidak lama kemudian sebuah SMS masuk kembali masuk.
"Cepet banget hubungan internasional," Raya berkata kepada dirinya sendiri. Ia membuka flip handphonenya dan membaca SMS yang ternyata bukan berasal dari Rio, yang sebelumnya mengirim SMS.
SMS itu ternyata dari Marsha, salah satu teman terdekat Raya sejak kelas 2 SMA yang juga menyadari kedekatan yang berbeda antara Kenny dan Raya. Maaf Ra tapi gue barusan denger Sasa nangis-nangis di kamar mandi ke Lila. She's pregnant. Is everything okay?
Raya menyenggol teh botolnya sampai seluruh isinya tumpah ke atas meja dan mengalir sampai ke roknya. Raya melonjak berdiri sambil menepuk-nepuk pahanya yang basah. Kemudian ia meletakan handphonenya di sisi meja yang kering. Matanya menatap ke sekeliling dengan panik, namun kemudian tubuhnya terduduk lemas. Raya meletakan tangannya di kepala dengan frustasi. Sasa hamil?! Hamil?! Ya Tuhan, Sasa hamil!
Kepanikan menyerang Raya dengan seksama. Selain karena salah satu teman seangkatannya hamil, juga karena Sasa dan Kenny baru saja putus, yang artinya Kenny adalah cowok terakhir yang memiliki hubungan asmara dengannya, yang artiny juga Kenny mungkin menjadi orang yang seharusnya bertanggung jawab.
Raya berdiri, mengambil handphoenya dan kemudian berjalan tanpa arah. Hatinya kalut. Saat ini yang dibutuhkannya hanyalah pembuktian dari Kenny. Dan Kenny menghilang!
Raya, tanpa sadar, sampai di lorong kelas 2. Di ujung lorong terdapat gudang serbaguna dan...di sana Sasa sedang bersandar. Ia tampak berbicara dengan orang lain yang tubuhnya terhalang oleh tembok kelas.
Raya diam di tempatnya. Memperhatikan dengan rasa penasaran yang mendadak datang.
Pembicaraan Sasa dengan lawan bicaranya tampak semakin emosional. Sasa mulai menangis, ia membuang pandangannya ke arah halaman di sebelah kanannya. Tiba-tiba seorang cowok muncul dari balik tembok yang sebelumnya menghalanginya. Cowok itu memeluk Sasa dan kini Sasa menangis di pundak cowok yang berdiri tegap dan lebih tinggi darinya.
Tunggu, aku tau postur itu...
Sasa bertemu pandang dengan Raya. Kemudian Sasa berkata sesuatu pada orang yang memeluknya. Kenny menengok. Ekspresinya tampak panik. Ia meninggalkan Sasa, berlari mengejar Raya yang sudah pergi dari tempat itu dengan lebih cepatm.
"Ra! Raya!" Kenny yang lebih tinggi darinya itu berhasil menyusul dan meraih tangan Raya untuk menahannya.
Raya tidak mau berbalik untuk menatap matanya. Raya terlalu bingung untuk melakukan apa, segalanya bercampur jadi satu dan saat ini ia hanya membutuhkan waktu sendiri.
"Jangan mikir macem-macem."
"Gue bahkan nggak bisa mikir."
"Good!!"
Raya menengok cepat. Tatapannya menerawang bingung ke dalam mata Kenny.
"Bagus!" Kenny kembali menegaskan kata-katanya, "Jangan mikir! Itu cuman ngebebanin lo." Kenny diam sesaat. Ia masih tidak mau melepaskan tangan Raya. "Lo tau siapa gue, lo tau apa yang mungkin dan nggak mungkin gue lakukan. Jadi lo nggak harus mikir untuk nemuin jawabannya. Pake perasaan lo."
"Dan Sasa?!"
"Ada apa dengan Sasa?!" Kenny setengah membentak. Ia melepaskan tangan Raya kemudian menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. "Dia berhubungan sama cowok lain pada saat kami baru jadian 4 bulan, okay? Dan gue baik-baik saja!"
"Nggak mungkin!"
Kenny mengerang frustasi. Namun kemudian ia mencoba menarik napas panjang dan menenangkan dirinya sendiri. "Raya," Kenny memandang mata Raya lekat-lekat, "gue nggak bisa nyalahin dia karena mengkhianati gue, karena gimanapun juga hubungan ini adalah milik dua orang dan ketika hubungan itu gagal sampai menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian, maka itu tanggung jawab keduanya." Kenny meletakan tangannya di pipi Raya. "Sasa ngerasa nggak nyaman sama hubungan ini dan itu juga merupakan tanggung jawab gue, Ra, sampai dia harus cari pelampiasan ke tempat lain. Dan, jujur, gue ngerasa gue juga harus ada buat dia di saat ini. Sumpah, Ra, I'm just being responsible for what she's been through."
Raya menunduk. "Gue nggak ngerti, Kenn, semuanya seolah berbalik dari yang gue tau dua hari yang lalu. You didn't call or text me back, you didn't show up this morning. Dan sekarang lo muncul bersamaan dengan berita menggemparkan itu." Raya mengangkat kepalanya, menatap Kenny dengan matanya yang lembab. "Setelah sekian lama kita deket, baru kali ini gue nggak bisa menafsirkan semua hal yang lo tunjukkan!"
"Gue..." Kenny menatap ke bawah, kemudian ia membuang pandangannya ke kerumunan anak yang sedang berkumpul di tengah lapangan di sebelah kanannya dengan resah. Namun kemudian ia kembali menatap Raya dengan yakin. "Gue nggak tau ini apa, yang jelas gue nggak pernah bisa berhenti peduli sama lo dan gue nggak bisa ngebiarin cowok manapun ngedeketin lo. Gue juga nggak tau mau menafsirkan hal ini gimana! Kalo gue bilang ini cinta, gue nggak tau bisa bertahan berapa lama dan ini bisa menghancurkan semuanya. Tapi kalo gue bilang ini rasa sayang dan memiliki ke sahabat gue sendiri, gue tau..." Kenny meluruskan pandangannya lekat-lekat ke mata Raya, "gue tau, gue akan melewatkan kesempatan berharga."
Raya terdiam. Namun kemudian seulas senyum kecil muncul di ujung bibirnya. "Can't we just give it a try?"
Kenny tersenyum lembut sambil mengangkat bahunya. "Ya, gue baru aja memikirkannya."
"Apa?"
"Bahwa gue akan selalu jadi Kenny yang protektif, Kenny yang ngerti apapun yang ada di otak lo, Kenny yang tau segala sisi kehidupan lo. Dan Kenny yang mau mencoba jadi lebih dari sekedar orang yang rutin nanya lo ada di mana. Gue mau jadi Kenny yang akan selalu berdiri di sebelah lo dan akan lo perkenalkan ke orang lain dengan satu kata," Kenny mengangkat sebelah alisnya, berharap Raya bisa menebak.
Raya mengangguk. Senyumnya semakin lebar mengembang. "Boyfriend."

Selasa, 01 Februari 2011

Everything Part 3

Raya membanting pintu mobil, kemudian ia segera menunduk dan menelungkupkan wajahnya di kakinya. Dadanya sesak karena terhimpit kakinya.
"Bodoh! Sekarang lo jadi kelihatan aneh di mata dia!! Dasar cewek bodoh!" Raya mengumpat pada dirinya sendiri. Ia menarik kakinya ke pelukannya. Tatapannya mengarah ke Kenny yang masih memunggunginya dari atas mobil. Raya menggigit bibir bawahnya.
Untuk beberapa lama mereka berdua diam di posisinya masing-masing, memikirkan apa yang sedang terjadi dan mengapa semuanya menjadi aneh seperti ini.
Tanpa terasa waktu berlalu, langit berubah menjadi gelap namun juga terang karena keberadaan bintang-bintang. Ya, tempat itu memang pantas dosebut Bukit Bintang karena seolah-olah bintang-bintang berkumpul menjadi satu di atas langit tempat itu ketika malam tiba.
Mendadak seseorang mengetuk kaca jendela, membuat Raya terlonjak kaget dan tersadar dari lamunannya. Ia menengok dan melihat Kenny sudah berdiri di sebelah pintu mobilnya. Wajahnya tersenyum lemah, sangat tampan.
Raya membuka pintu perlahan. Kenny memegang tangan Raya untuk membantunya keluar dari mobil walaupun Raya tidak tampak kesuwahan sama sekali. Wajah Raya masih tampak lesu.
Kenny mempersilahkannya untuk maju duluan.
Yang dapat mereka lihat saat itu hanyalah bintang dan lampu yang menerangi seperti bintik-bintik putih di atas kertas hitam. Raya tidak dapat menahan senyumannya. Rasanya sudah begitu lama ia tidak merasakan ketenangan yang sedang dirasakannya saat itu. Raya menengok ke belakang, ingin membagi yang dirasakannya pada Kenny seperti yang selalu dilakukannya. Dan ternyata Kenny tidak sedang menatap ke langit, ia menatap ke arah Raya dan wajahnya masih tersenyum. Senyuman karena melihat Raya, bukan karena bintang-bintang yang begitu indah.
"I'm not good at this," Kenny mulai berbicara dengan kikuk sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Kenny menunduk dan menggerak-gerakan kakinya grogi. "Satu jam yang lalu, gue masih nggak tau apa yang gue mau. Dan lo membuat gue berpikir mengenai apa yang akan gue lakukan dengan kehidupan gue ke depan nanti."
Raya dan Kenny diam. Suasana begitu sepi.
"Tolong tanya apa," kata Kenny terlihat panik.
Raya tertawa. "Apa?"
Kenny tersenyum. "Be your friend. Be your really gooddfriend. Jadi seseorang yang bisa selalu lo pegang."
Senyum Raya perlahan menghilang. Ini tidak seperti yang ia harapkan. Namun, ia masih berusaha tersenyum dengan terpaksa.
"Dan mungkin," Kenny mengangkat jari telunjuknya, "more than just friend for you." Senyuman Kenny semakin melebar kini.
"Ya," Raya kembali tersenyum lebar, "itu yang mau gue dengar." Raya berjalan mendekatinya kemudian memeluknya erat.
Kenny balas memeluk. Ia dapat mencium wangi tubuh Raya yang selalu disukainya.

Senin, 31 Januari 2011

Everything Part 2

Raya menatap matahari yang mulai memunculkan cahayanya di pagi hari dari balkon kamarnya. Ia menopangkan dagunya pada kayu penyanggah. Jakarta begitu tenang di hari Sabtu pagi itu. Ia kemudian menatap ke bawah dan melihat mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Tidak lama kemudian Kenny keluar dengan celana pendek coklat muda dan kaos polos putih, rambutnya masih acak-acakan namun senyum di wajahnya begitu lebar ketika melihat Raya yang menatapnya dari balkon.
Raya masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu balkon. Ia mengambil ranselnya kemudian turun ke bawah untuk berpamitan kepada orang tuanya yang masih tidur. Tidak lama kemudian Raya sudah masuk ke dalam mobil Kenny. Mereka segera berangkat menuju ke Lembang.
"Tumben tepat waktu," celetuk Raya memulai perbincangan mereka pagi itu.
Kenny melirik kemudian terkekeh sendiri. "Telat bangunnya sebenernya tadi."
"Udah bisa nebak gue."
Mereka melalui perjalanan panjang selama empat jam menuju Lembang. Sesekali mereka berhenti di pinggir jalan tol untuk mengambil foto atau hanya menikmati pemandangan hamparan sawah dan pegunungan di depan mereka. Komitmen mereka hari itu adalah what happen in Jakarta stays in Jakarta, jadi mereka sama sekali tidak membawa pembicaraan lain selain liburan hari itu.
"Makan dulu ya, Ra, laper," kata Kenny begitu keluar dari pintu tol Lembang, "gue tau tempat makan enak!"
Raya mempercayakan Kenny untuk membawanya ke mana pun.
Kenny dan Raya sampai di salah satu restoran terkenal di Lembang. Mereka memasuki area restoran yang sangat besar dan bersatu dengan alam tersebut. Salah satu pelayannya mempersilahkan mereka untuk duduk di salah satu dari gubuk-gubuk kecil di sisi air terjun buatan.
Mereka memesan makanan sambil menikmati suasana yang begitu nyaman sekaligus romantis di tempat itu. Sesekali mereka bercanda tawa dan melupakan segala masalah yang ada.
Tiba-tiba sebuah SMS masuk ke handphone Raya. Nomernya seperti nomer luar negeri.
"Siapa, Ra?" tanya Kenny begitu melihat perubahan ekspresi Raya setelah membaca SMS-nya.
"Rio."
"Apa katanya?" tanya Kenny datar.
Raya menyodorkan handphonenya dan tampak di layarnya satu kalimat yang begitu jelas. I miss you, hope you're okay now :)
Kenny membuang muka setelah selesai membacanya. "Kalo aja si brengsek itu tau kalo lo jadi kenapa-napa setelah dapet SMS itu."
Raya menatap Kenny cepat. "Gue nggak apa-apa kok!" nadanya terdengar defensif.
"Oh ya?"
"Iya!"
"Yasudahlah, nggak penting!" Kenny mengibas-ibaskan tangannya, tidak peduli.
Raya tersenyum kecil. "I'm okay as long as I have you," katanya dengan volume suara yang kecil, namun Kenny dapat mendengarnya.
Kenny mengangkat kepalanya cepat, menatap Raya yang sudah membalikan wajah untuk menutupi ekspresi malunya.
Kenny tertawa kecil. "Well, then you'll be okay forever."
Kali ini Raya kembali menatap Kenny, tidak menyangka respon yang akan didapatnya dari Kenny. Ia tidak dapat menutupi senyumannya. Raya tau Kenny memang sahabat yang terbaik untuknya.
"Cabut yuk," ajak Raya sambil memberesi barang-barangnya.
"Ra, mau ke mana nih?" tanya Kenny sambil menahan tangan Raya.
Raya tampak berpikir. "Ke tengah kota Bandung aja deh, Kenn, terus nanti menjelang malem kita ke Bukit Bintang ya. Pleaseee," mohon Raya dengan gaya kekanak-kanakan.
Kenny tersenyum melihat Raya memohon seperti itu padanya. "Okay, okay, this is your trip." Kenny menganggukan kepalanya.
Akhirnya, sore pun tiba. Setelah muter-muter keliling kota Bandung, dari mulai tempat bersejarah sampai ke FO, akhirnya mereka menuju ke Dago. Di daerah Dago ada sebuah dataran tinggi yang menghadap langsung ke kota Bandung dan ketika malam tiba, bintang-bintang berkelap-kelip seirama dengan cahaya gedung-gedung.
Mereka tiba di Bukit Bintang tepat pukul 5 sore. Matahari mulai terbenam di balik pegunungan seberang tempat itu. Kenny memarkir mobilnya di dataran paling tinggi. Kemudian mereka keluar dari mobil dan duduk di atas kap mobil Kenny.
Untuk beberapa lama mereka hanya diam, menikmati angin yang mulai menggerogoti tulang mereka.
"Kenn," panggi Raya sambil memejamkan matanya dan mendongakan kepalanya ke arah langit.
"Hm?"
"Nggak nyeselkan ya nganterin gue ke sini?"
Kenny menengok. Ia menatapi seluruh lekukan wajah Raya yang membuat gadis ini selalu menjadi idola cowok manapun. Ya, sahabatanya bukan hanya menyenangkan, juga sangat cantik, namun sikapnya yang terlalu sederhanalah yang membuatnya semakin menarik di mata Kenny. Apa yang telah dilakukannya selama ini? Membuang-buang cewek yang begitu istimewa di depannya hanya untuk dijadikan sebatas sahabat? Kalau saja ia sudah membuka mata dari dulu, ia tidak perlu repot-repot menyukai cewek lain.
"Kenny?"
"Ya?"
"Nggak nyeselkan?" Raya menundukan kepalanya kemudian menatap Kenny lekat-lekat. Bibir dan matanya tampak tersenyum.
Kenny tersenyum. "Nggak akan pernah," katanya sambil menggeleng.
Raya terdiam. Mendadak suasana begitu canggung antara dirinya dan Kenny. Setelah 6 tahun mereka menghabiskan waktu bersama, untuk pertama kalinya mereka....bersikap malu-malu? Atau itu hanya perasaan Raya.
"Lo harus terima Rio lagi."
Raya menengok cepat. "Kata lo dia brengsek?"
"Gue yakin dia berubah," Kenny menunduk kemudian tersenyum, "selama ini gue selalu bilang dia brengsek karena gue nggak mau kehilangan lo."
Raya menggeleng. "Gue nggak akan ke mana-mana."
"Lo nggak ngerti, Ra. Sekarang mungkin kita emang berkomitmen untuk ngutamain kepentingan satu sama lain di atas pacar kita, tapi nanti? Gimana ketika lo udah nemuin suami lo? Cowok yang bakalan ada di samping lo selamanya? Apa lo rela ngorbanin dia buat gue?" Kenny menatap Raya dengan kalut. "Gue takut, Ra! Tapi gue bisa apa? Kita bakalan punya dua kehidupan yang berbeda! Dan nggak sepantesnya kita ngorbanin kehidupan kita buat satu sama lain."
"Jadi...maksud lo persahabatan kita worthless?"
Kenny menggeleng. "Gue sayang sama lo, Ra, ta-"
"Gue juga sayang sama lo!" potong Raya. Setetes air mata jatuh dari pipinya, ia segera mengelapnya dengan punggung tangannya cepat.
"As friend, Ra-"
"No!" Raya berkata tegas, air matanya jatuh semakin banyak, "I literally love you, Kenn!"
Kenny diam. Ia mencoba memproses maksud Raya yang ia rasa agak berbeda dari kalimatnya tadi. Ya Tuhan, Raya. "Gue pikir lo...Nggak, nggak, lo bercanda...Tunggu! Tunggu!" Kenny menjabak rambutnya frustasi. What should I do? What should I do? Raya!
Raya turun dari kap mobil tanpa berbicara. Ia membuka pintu mobilnya dan sebelum ia masuk, ia menatap Kenny yang masih diam saja. "Gue nggak tau kenapa lo harus segini bingungnya, Kenn. Face it, we're more than just friends."
Raya menutup pintu mobil. Kenny masih berada di posisinya yang sama dengan pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya.

Minggu, 30 Januari 2011

Everything Part 1

Ting tong!
"Mbok," Raya menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi, "itu Kenny tolong dibukain, mbok." Tanpa menunggu ada orang yang meresponnya, Raya kembali menutup pintu kamar mandi rapat.
Tok tok!
Raya kembali membuka pintu kamar mandi sedikit. Pembantu yang sudah bekerja berpuluh-puluh tahun untuk keluarganya berdiri di depan pintu.
"Non, itu Mas Kenny mau dibikinin apa?" tanya Mbok Kiki.
"Lha? Ya tanya orangnya dong, masa tanya aku?"
"Kata Mas Kenny, non ngerti Mas Kenny mau apa."
Raya berdecak sebal. "Dia di mana sekarang?"
"Di ruang TV."
"Bilangin suruh ambil sendiri aja deh!" Raya kembali menutup pintu kamar mandi.
"Udah selesai beloooom?" tiba-tiba suara cowok yang terdengar manja muncul dari balik pintu, "Katanya mau cabut hari ini! Udah jam 10 nih!"
Raya membuka pintu lebar dengan tatapan datar. "Lo janjinya dateng jam 7! Kalo sekarang, gue udah males." Raya berjalan melalui Kenny sambil melempar buntelan handuk dan pakaian kotornya ke keranjang sebelah pintu kamar mandi.
"Yah, kok gitu, Ra?" Kenny terdengar menyesal. Ia melangkah cepat menyusul Raya yamg sudah beberapa langkah di depannya. "Maaf, Ra."
Raya tidak pernah bisa menyembunyikan senyumnya ketika menatap Kenny yang mudah merasa bersalah. Walaupun ia berusaha mati-matian untuk terlihat marah, senyum tetap mengembang di wajahnya. "Nggak apa-apa kok. Kita hari ini main game di rumah gue deh!" Raya kembali terdengar ceria.
Mereka duduk di ruang TV dan menghabiskan waktu bersama selama berjam-jam di tempat itu. Pertama mereka menonton film, kemudian lanjut main Nitendo Wii berdua, dan akhirnya Kenny sendirian main Play Station sedangkan Raya hanya menonton. Banyak hal mereka bicarakan, walaupun setiap hari bertemu di sekolah dan sms-an namun ketika menghabiskan waktu bersama pasti banyak yang mereka bicarakan.
Raya dan Kenny bersahabat semenjak mereka SMP bahkan sampai sekarang mereka kelas 3 SMA. Mereka berdua tidak terpisahkan. Mereka selalu bercerita mengenai hari-hari mereka setiap malam, dan mereka selalu berkomitmen bahwa mereka akan selalu mengutamakan kepentingan satu sama lain diatas apapun, termasuk pacar-pacar mereka sendiri. Itulah yang menyebabkan banyak cowok maupun cewek tidak kuat mengatasi kecemburuan mereka.
Kenny masih seru sendiri dengan permainannya. Di sebelahnya, Raya duduk bersila sambil mengecek handphonenya.
"Ken, lo hari ini 7 bulanan ya?" Raya tiba-tiba bertanya.
Kenny hanya melirik kemudian tersenyum seadanya.
"Kok nggak bilang sama gue?" kata Raya jutek, "Gue mau nyelametin Sasa dulu kalau gitu."
Kenny tiba-tiba menekan tombol pause pada stick PS-nya dan segera menahan tangan Raya. "Jangan, Ra, gue putus." Kalimat itu meluncur dengan cepatnya dari mulut Kenny. Tatapannya tidak enak.
Raya berusaha mengontrol suaranya mendengar kabar yang mengejutkan itu. Masalahnya ia tidak pernah mendengar Kenny bercerita hal negatif mengenai hubungannya dengan Sasa, bahkan ia sangat jarang mendengar Kenny bercerita tentang Sasa. Mungkin di situ keanehannya. "Ada apa?"
"Gue juga nggak tau! Lo taulah, gue dan Sasa jarang banget berantem. Yang gue tau adalah sejak masuk bulan kelima pacaran, kami jadi jaraaang banget komunikasi. Dan 5 hari yang lalu dia minta putus dengan alasan kami udah nggak sejalan lagi."
"Dan lo terima gitu aja?" tanya Raya cepat.
Kenny menatap ke lantai kemudian mengangkat bahunya. "Ya, gimana, Ra? Gue juga ngerasa hal yang sama."
Raya menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Kenny tidak berhenti menatapnya untuk melihat ekspresi Raya selanjutnya, karena Raya pasti akan marah besar karena ia baru memberitahunya.
Raya diam lama, mencerna segala hal yang mendadak bercampur satu di dalam kepalanya. Kemudian ia menengok ke arah Kenny dan menatap matanya.
"Seminggu yang lalu Rio balik dari Australia cuman untuk ngajakin gue balikan."
"Serius lo?" Kenny yang sekarang gantian menghempaskan badannya ke sandaran sofa dan menatap Raya terkejut.
Raya mengangguk. "Udah setengah tahun gue nggak mau komunikasi dengan dia. Dia pikir dengan pulang ke Jakarta dan ngajak gue balikan secara langsung bakalan bikin gue luluh?" tanyanya terlebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya terdengar emosi.
"Tapi...lo kangen sama dia?" tebak Kenny.
Raya menengok cepat dan menatap tajam Kenny. Namun, dalam waktu sebentar kepalanya bersandar lunglai di pundak Kenny. Raya hanya mengangguk.
"Rio itu cowok brengsek." Kenny menatap lurus ke depan.
"Sasa itu cewek yang baik." Raya menatap Kenny dengan tatapan prihatin.
Kenny menengok dan mendapati sahabat kecilnya yang tampak sedih. Ia tertawa kecil. "Well, now, we're even."
Raya tersenyum. Mereka diam untuk beberapa saat.
Namun kemudian Raya teringat akan suatu hal. "Eh, Kenn, temenin gue kabur yuk minggu depan!"
"Dari rumah? Serius?"
"Sehari aja, lebay," Raya memutar bola matanya, "gue mau ke Lembang, pokoknya ke tempat yang bisa menyepi."
"Sama siapa aja?"
Raya nyengir. "Tadinya mau sendirian."
"Ah gila! Lo mau nyupir sendiri?!" Kenny geleng-geleng kepala, "Kalo gini kasusnya, gue wajib ikut! Nggak akan gue biarin lo ke tempat jauh begituan sendiri."
"I know you wouldn't. Tapi nggak usah ajak siapa-siapa ya, Kenn, gue lagi pengen sepi-sepi aja."
Kenny mengangguk bersemangat. Harus diakui selama hampir 6 tahun bersahabat dengan Raya, ia sangat jarang pergu keluar kota dengannya. "Okay!"

Minggu, 23 Januari 2011

Kami

"Del, besok prom."
Adel tersenyum kecil. "Iya, tau kok. Terus kenapa?"
"Emang harus ada pasangan ya? Kamu udah ada pasangan?"
"Kamu sendiri udah ada?" Adel berusaha terdengar tenang. Ya Tuhan, jangan bilang Bima mau ngajak aku!! Panik!
Bima melengos sambil tertawa kecil. "Mana ada yang mau sama aku." Ia kembali menatap Adel.
Aku mau, Bim, aku mau!!!!  "Berasa jelek ya, Bim?" Adel berpura-pura sinis pada cowok yang memenangkan predikat terganteng ketiga di angkatannya menurut voting buku tahunan. Tatapan Adel beralih pada gadis putih yang dikelilingi banyak cowok di ujung ruangan. "Udah coba ajak Najla?"
"Cewek murahan itu?" Bima memutar bola matanya namun raut wajahnya tetap terlihat kalem, "Mending nggak usah pergi."
Adel tertawa kecil. "Jahat banget kamu. Itu mantan kamu lho. Dan sebenarnya dia baik kok sama aku tapi mungkin terlalu...agresif?"
"Hati-hati kamu dimanipulasi dia!" nada bicara Bima terdengar seperti anak kecil.
Adel dan Bima tertawa bersama ketika menyadari kata-kata Bima yang sebenarnya, harus diakui, benar. Mereka terdiam sebentar. Kemudian saling menatap lagi.
"Kamu nggak pergi sama Toni? Dia keterima di universitas impiannya di Jogja lho dan dia akan pindah tiga hari lagi. Dan waktu itu dia cerita kalau dia mau ngajakin kamu balikan. Dia masih sayang sama kamu."
Kali ini Adel yang melengos kesal. "Sejak kapan kamu jadi temen curhatnya dia?"
Bima tersenyum kecil. "Jangan sinis gitu dong."
"Aku nggak suka." Adel tidak menatap mata Bima walau Bima berusaha mencari titik temu mata mereka berdua.
"Dia serius, Del, kalau enggak dia nggak akan nungguin kamu setiap hari pada masa persiapan wisuda kemarin ini." Bima menyapu rambut yang terjatuh di kening Adel dengan halus. Tatapannya penuh ketenangan.
Adel akhirnya menatap mata Bima. Tatapannya begitu sendu. "Aku pulang aja ya kalo nggak ada lagi yang mau kamu bicarain." Adel berjalan gontai, namun Bima menahan lengannya.
"Mau pergi prom dengan gue?"
Bima menunggu jawaban Adel, matanya terus menatap Adel yakin, tangannya masih menahan lengan Adel.
Adel tidak bisa menahan senyumannya. "Aku mau."
"Terima kasih," Bima tersenyum.

Adel's POV
Bima memang unpredictable buat aku. Dia muncul di saat aku berantakan menghadapi akhir hubunganku dengan Toni. Dan saat yang bersamaan dia datang padaku juga dengan hati yang hancur karena perdelingkuhan pacarnya, Najla. Kami bertemu untuk saling melengkapi dan menyembuhkan. Kami tidak pernah meresmikan hubungan ini tapi ini adalah saat-saat paling berbahagia untukku. Rasa yang menakjubkan setiap kali aku bertatapan dengannya, walau jarak kami sangat jauh, dan tiba-tiba saling tersenyum malu.

Bima's POV
Besok prom, malam terakhir di SMA. Malam terakhir gue bisa sama-sama Adel. Gue tau hal ini akan berakhir setelah gue pisah sama dia. Maybe I shouldn't be in this relationship from the first place. Hubungan tanpa status ini bukan hal yang nyata, ini bisa berakhir kapan aja. Dan bukannya menyembuhkan kita berdua tapi malah makin nyakitin. Tapi di sisi lain gue belum siap untuk masuk sepenuhnya ke dalam hubungan yang sesungguhnya, dan gue nggak yakin dia juga.
Cinta itu memang konyol. Sayang itu bukan perasaan yang nyata. Kami hanya fatang di saat yang tepat untuk saling mengisi. And it's gonna be over very soon.

Adel dan Bima duduk di luar gedung. Suara musik yang teredam dari dalam gedung seolah betada di luar dunia mereka masing-masing.
Tidak ada yang mereka katakan. Inilah fungsi mereka satu sama lain, hanya untuk menemani dan membuat mereka percaya bahwa mereka tidak sendiri menghadapi luka di hati.
Beberapa teman mereka keluar dari gedung, menuju taman di depan mereka untuk mulai mengambil makan malam yang disajikan di taman. Beberapa dari mereka menyapa dan tersenyum melihat ketenangan dua orang itu walau terkadang pertanyaan terus muncul mengenai hubungan mereka yang sesungguhnya.
"Mau diambilin nggak makannya?" Adel akhirnya membuka pembicaraan.
Bima nyengir lebar. "Hee, mau, makasih."
Adel tertawa. Ia berjalan mengambil makanan untuk Bima. Sesekali ia berbicara dengan temannya, namun tujuan utamanya hanya untuk mengambil makanan Bima. Ia kembali ke tempat duduknya kemudian menyerahkan sepiring nasi dan lauk pada Bima. Adel memperhatikan Bima mulai memakan makanannya.
"Kenapa?"

Adel's POV
Aku nggak pernah habis pikir kenapa Bima mau punya hubungan kayak gini sama aku. Aku dibandingin sama Najla, perbandingannya kayak langit dan bumi. Begitu juga Toni kalau dibandingin dengan Bima. Bima dan Najla adalah pasangan paling cocok karena sama-sama ganteng dan cantik. Aku dan Toni juga cocok karena kami sama-sama berbadan lebih dari ukuran normal remaja seumuran kami. Hanya satu kesamaan kami, kami sama-sama disakiti oleh mantan-mantan kami.
Toni tidak pernah malu jalan berdua denganku, dia tidak pernah malu menyebut namaku lembut kemudian berbicara seolah aku memang pacarnya, dia tidak pernah berhenti menatapku ataupun mendengarkan dan berbicara kepadaku. Dia memang seorang yang berhati baik dan tidak pernah menilai orang dari fisik.
Aku pengen dia tau kalau aku benar-benar ingin hubungan ini berlanjut terus dengan status yang jelas. Tapi apa dia juga menginginkan hal yang sama? Aku takut jika aku memaksakan keinginanku, aku akan kehilangan semua ini lebih cepat dari yang awalnya kami rencanakan.
Tapi aku sayang dia. Walau hanya 3 bulan, walau hubungan ini akan berakhir malam ini, aku selalu sayang dia.

"Kenapa apa?" Bima menatap Adel dengan tatapannya yang boyish.
Adel tertawa kecil. "Nggak apa-apa," ia memutuskan untuk tidak menanyakan pertanyaan yang 3 bulan terakhir terus menghantuinya.
Adel dan Bima kembali diam.

Bima's POV
Kami sering melalui momen ini ketika sedang berduaan. Momen dimana kami hanya diam saja. Tapi bukan diam yang canggung, melainkan diam menikmati ketenangan. Ya, gue akan selalu merasa tenang bersama dia. Gue nggak tau kapan lagi gue akan merasa setenang ini.
Dia nggak mungkin punya perasaan yang sama dengan gue. Dia mau menjalani semua ini hanya karena dia ngerasa kesepian, bukan karena memang dia beneran sayang sama gue. Tidak seperti gue sayang ke dia.

Bima melihat jam tangannya. Sudah pukul 11 malam. Gedung prom masih ramai.
4 jam terakhir ia dan Adel terus mondar-mandir keluar dan masuk gedung untuk setidaknya menunjukan bahwa mereka belum pulang. Walau sebenarnya mereka berdua bukan penyuka keramaian macam clubing seperti konsep prom mereka malam itu.
Adel dan Bima baru saja keluar untuk yang kelima kalinya pada satu jam terakhir. Kaki mereka melangkah menuju ke gerbang keluar. Mereka bisa pulang kapan saja mereka mau. Sesekali diam mereka diselingi canda kecil.
Bima menatap ke deretan parkiran mobil. "Aku pulang ya." Ia menatap Adel ragu.
Adel tersenyum kemudian mengangguk. Ia sangat tau bahwa Bima adalah tipe cowok rumahan.
"Tapi aku nungguin kamu dijemput dulu deh."
"Aku juga mau pulang kok bentar lagi dan supirku udah nunggu di parkiran depan." Adel menunjuk ke arah mobil di ujung jalan.
Bima mengantar Adel sampai ke mobilnya. Mereka saling menatap sesaat kemudian secara spontan Adel memeluk Bima erat. Bima tidak melawan, ia balas memeluknya.
"Makasih sudah bikin gue merasa berharga," Adel berkata sambil terus meletakan kepalanya di dada Bima.
Bima tertawa kecil. "Kamu memang berharga. Toni adalah orang bodoh karena pernah nyakitin kamu."
Adel melepaskan pelukannya. Ia ingin melihat senyuman Bima.
Bima menyapu rambut di kening Adel dengan senyumannya yang begitu lembut dan tenang.
"Good bye, Adel."
Bima membalikan badannya. Adel terdiam sambil terus menatap punggung Bima. Ia tau, semuanya sudah berakhir. Kemudian Adel masuk ke dalam mobilnya, ia duduk menatap ke luar jendela, lalu ia mengambil hamdphonenya, membuka contacts list nya, mencari nama Bima, memencet tombol delete. Dan Bima sudah pergi selamanya.
Dadanya sesak. Ia menunduk dan menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tqngannya. Adel menangis.

Adel's POV
Hari ini tepat memasuki tahun keduaku kuliah. Setiap hari aku terus teringat Bima dan, ya, kami sama sekali tidak pernah berhubungan lagi. Kemarin teman dekatku yang satu kampus dengan Bima mengunjungiku dan berkata bahwa Bima dulu juga memiliki perasaan yang sama denganku, namun ia takut aku menolaknya, menyakitinya lagi seperti yang sudah dilakukan Najla. Dan itu dulu.
Sekarang? Aku berusaha untuk move on. Walau masih terus teringat dan kangen pada Bima serta semua kenangan kami. Aku mencoba menjalani hiduplu sendiri, mencari orang yang tepat untukku. Aku belum menemukannya. Aku belum menjalani hubungan dengan siapapun lagi sejak hubungan terakhirku, hubungan yang akan selalu kukenang dan kubanggakan, hubunganlu dengan Bima.