Hahahahaha! Akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan identita asli saya :)
Devita Rahma, ya, saya sekolah di SMA Negeri 8 Jakarta angkatan 2012. Berbagai hal dapat dilihat di bagian penjelasan.
Mohon maaf untuk segala drama "merahasiakan identitas", saya hanya sedikit malu dengan karya saya.
Hope you enjoy this blog
Regards,
Rahma
Selasa, 15 Februari 2011
Senin, 07 Februari 2011
Everything Part 4
Raya memasuki kantin sambil selingak-celinguk mencari Kenny. Sudah seharian Kenny tidak muncul dan tidak membalas SMS-nya semenjak dua hari yang lalu setelah mereka pulang dari Bandung. Kenny menghilang tidak ada kabar.
Raya duduk sendirian di meja pojok kantin. Sebuah SMS masuk. Hey, how are you?
Raya segera memencet tombol reply. Bisa tinggalin gue sendiri?
Tidak lama kemudian sebuah SMS masuk kembali masuk.
"Cepet banget hubungan internasional," Raya berkata kepada dirinya sendiri. Ia membuka flip handphonenya dan membaca SMS yang ternyata bukan berasal dari Rio, yang sebelumnya mengirim SMS.
SMS itu ternyata dari Marsha, salah satu teman terdekat Raya sejak kelas 2 SMA yang juga menyadari kedekatan yang berbeda antara Kenny dan Raya. Maaf Ra tapi gue barusan denger Sasa nangis-nangis di kamar mandi ke Lila. She's pregnant. Is everything okay?
Raya menyenggol teh botolnya sampai seluruh isinya tumpah ke atas meja dan mengalir sampai ke roknya. Raya melonjak berdiri sambil menepuk-nepuk pahanya yang basah. Kemudian ia meletakan handphonenya di sisi meja yang kering. Matanya menatap ke sekeliling dengan panik, namun kemudian tubuhnya terduduk lemas. Raya meletakan tangannya di kepala dengan frustasi. Sasa hamil?! Hamil?! Ya Tuhan, Sasa hamil!
Kepanikan menyerang Raya dengan seksama. Selain karena salah satu teman seangkatannya hamil, juga karena Sasa dan Kenny baru saja putus, yang artinya Kenny adalah cowok terakhir yang memiliki hubungan asmara dengannya, yang artiny juga Kenny mungkin menjadi orang yang seharusnya bertanggung jawab.
Raya berdiri, mengambil handphoenya dan kemudian berjalan tanpa arah. Hatinya kalut. Saat ini yang dibutuhkannya hanyalah pembuktian dari Kenny. Dan Kenny menghilang!
Raya, tanpa sadar, sampai di lorong kelas 2. Di ujung lorong terdapat gudang serbaguna dan...di sana Sasa sedang bersandar. Ia tampak berbicara dengan orang lain yang tubuhnya terhalang oleh tembok kelas.
Raya diam di tempatnya. Memperhatikan dengan rasa penasaran yang mendadak datang.
Pembicaraan Sasa dengan lawan bicaranya tampak semakin emosional. Sasa mulai menangis, ia membuang pandangannya ke arah halaman di sebelah kanannya. Tiba-tiba seorang cowok muncul dari balik tembok yang sebelumnya menghalanginya. Cowok itu memeluk Sasa dan kini Sasa menangis di pundak cowok yang berdiri tegap dan lebih tinggi darinya.
Tunggu, aku tau postur itu...
Sasa bertemu pandang dengan Raya. Kemudian Sasa berkata sesuatu pada orang yang memeluknya. Kenny menengok. Ekspresinya tampak panik. Ia meninggalkan Sasa, berlari mengejar Raya yang sudah pergi dari tempat itu dengan lebih cepatm.
"Ra! Raya!" Kenny yang lebih tinggi darinya itu berhasil menyusul dan meraih tangan Raya untuk menahannya.
Raya tidak mau berbalik untuk menatap matanya. Raya terlalu bingung untuk melakukan apa, segalanya bercampur jadi satu dan saat ini ia hanya membutuhkan waktu sendiri.
"Jangan mikir macem-macem."
"Gue bahkan nggak bisa mikir."
"Good!!"
Raya menengok cepat. Tatapannya menerawang bingung ke dalam mata Kenny.
"Bagus!" Kenny kembali menegaskan kata-katanya, "Jangan mikir! Itu cuman ngebebanin lo." Kenny diam sesaat. Ia masih tidak mau melepaskan tangan Raya. "Lo tau siapa gue, lo tau apa yang mungkin dan nggak mungkin gue lakukan. Jadi lo nggak harus mikir untuk nemuin jawabannya. Pake perasaan lo."
"Dan Sasa?!"
"Ada apa dengan Sasa?!" Kenny setengah membentak. Ia melepaskan tangan Raya kemudian menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. "Dia berhubungan sama cowok lain pada saat kami baru jadian 4 bulan, okay? Dan gue baik-baik saja!"
"Nggak mungkin!"
Kenny mengerang frustasi. Namun kemudian ia mencoba menarik napas panjang dan menenangkan dirinya sendiri. "Raya," Kenny memandang mata Raya lekat-lekat, "gue nggak bisa nyalahin dia karena mengkhianati gue, karena gimanapun juga hubungan ini adalah milik dua orang dan ketika hubungan itu gagal sampai menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian, maka itu tanggung jawab keduanya." Kenny meletakan tangannya di pipi Raya. "Sasa ngerasa nggak nyaman sama hubungan ini dan itu juga merupakan tanggung jawab gue, Ra, sampai dia harus cari pelampiasan ke tempat lain. Dan, jujur, gue ngerasa gue juga harus ada buat dia di saat ini. Sumpah, Ra, I'm just being responsible for what she's been through."
Raya menunduk. "Gue nggak ngerti, Kenn, semuanya seolah berbalik dari yang gue tau dua hari yang lalu. You didn't call or text me back, you didn't show up this morning. Dan sekarang lo muncul bersamaan dengan berita menggemparkan itu." Raya mengangkat kepalanya, menatap Kenny dengan matanya yang lembab. "Setelah sekian lama kita deket, baru kali ini gue nggak bisa menafsirkan semua hal yang lo tunjukkan!"
"Gue..." Kenny menatap ke bawah, kemudian ia membuang pandangannya ke kerumunan anak yang sedang berkumpul di tengah lapangan di sebelah kanannya dengan resah. Namun kemudian ia kembali menatap Raya dengan yakin. "Gue nggak tau ini apa, yang jelas gue nggak pernah bisa berhenti peduli sama lo dan gue nggak bisa ngebiarin cowok manapun ngedeketin lo. Gue juga nggak tau mau menafsirkan hal ini gimana! Kalo gue bilang ini cinta, gue nggak tau bisa bertahan berapa lama dan ini bisa menghancurkan semuanya. Tapi kalo gue bilang ini rasa sayang dan memiliki ke sahabat gue sendiri, gue tau..." Kenny meluruskan pandangannya lekat-lekat ke mata Raya, "gue tau, gue akan melewatkan kesempatan berharga."
Raya terdiam. Namun kemudian seulas senyum kecil muncul di ujung bibirnya. "Can't we just give it a try?"
Kenny tersenyum lembut sambil mengangkat bahunya. "Ya, gue baru aja memikirkannya."
"Apa?"
"Bahwa gue akan selalu jadi Kenny yang protektif, Kenny yang ngerti apapun yang ada di otak lo, Kenny yang tau segala sisi kehidupan lo. Dan Kenny yang mau mencoba jadi lebih dari sekedar orang yang rutin nanya lo ada di mana. Gue mau jadi Kenny yang akan selalu berdiri di sebelah lo dan akan lo perkenalkan ke orang lain dengan satu kata," Kenny mengangkat sebelah alisnya, berharap Raya bisa menebak.
Raya mengangguk. Senyumnya semakin lebar mengembang. "Boyfriend."
Raya duduk sendirian di meja pojok kantin. Sebuah SMS masuk. Hey, how are you?
Raya segera memencet tombol reply. Bisa tinggalin gue sendiri?
Tidak lama kemudian sebuah SMS masuk kembali masuk.
"Cepet banget hubungan internasional," Raya berkata kepada dirinya sendiri. Ia membuka flip handphonenya dan membaca SMS yang ternyata bukan berasal dari Rio, yang sebelumnya mengirim SMS.
SMS itu ternyata dari Marsha, salah satu teman terdekat Raya sejak kelas 2 SMA yang juga menyadari kedekatan yang berbeda antara Kenny dan Raya. Maaf Ra tapi gue barusan denger Sasa nangis-nangis di kamar mandi ke Lila. She's pregnant. Is everything okay?
Raya menyenggol teh botolnya sampai seluruh isinya tumpah ke atas meja dan mengalir sampai ke roknya. Raya melonjak berdiri sambil menepuk-nepuk pahanya yang basah. Kemudian ia meletakan handphonenya di sisi meja yang kering. Matanya menatap ke sekeliling dengan panik, namun kemudian tubuhnya terduduk lemas. Raya meletakan tangannya di kepala dengan frustasi. Sasa hamil?! Hamil?! Ya Tuhan, Sasa hamil!
Kepanikan menyerang Raya dengan seksama. Selain karena salah satu teman seangkatannya hamil, juga karena Sasa dan Kenny baru saja putus, yang artinya Kenny adalah cowok terakhir yang memiliki hubungan asmara dengannya, yang artiny juga Kenny mungkin menjadi orang yang seharusnya bertanggung jawab.
Raya berdiri, mengambil handphoenya dan kemudian berjalan tanpa arah. Hatinya kalut. Saat ini yang dibutuhkannya hanyalah pembuktian dari Kenny. Dan Kenny menghilang!
Raya, tanpa sadar, sampai di lorong kelas 2. Di ujung lorong terdapat gudang serbaguna dan...di sana Sasa sedang bersandar. Ia tampak berbicara dengan orang lain yang tubuhnya terhalang oleh tembok kelas.
Raya diam di tempatnya. Memperhatikan dengan rasa penasaran yang mendadak datang.
Pembicaraan Sasa dengan lawan bicaranya tampak semakin emosional. Sasa mulai menangis, ia membuang pandangannya ke arah halaman di sebelah kanannya. Tiba-tiba seorang cowok muncul dari balik tembok yang sebelumnya menghalanginya. Cowok itu memeluk Sasa dan kini Sasa menangis di pundak cowok yang berdiri tegap dan lebih tinggi darinya.
Tunggu, aku tau postur itu...
Sasa bertemu pandang dengan Raya. Kemudian Sasa berkata sesuatu pada orang yang memeluknya. Kenny menengok. Ekspresinya tampak panik. Ia meninggalkan Sasa, berlari mengejar Raya yang sudah pergi dari tempat itu dengan lebih cepatm.
"Ra! Raya!" Kenny yang lebih tinggi darinya itu berhasil menyusul dan meraih tangan Raya untuk menahannya.
Raya tidak mau berbalik untuk menatap matanya. Raya terlalu bingung untuk melakukan apa, segalanya bercampur jadi satu dan saat ini ia hanya membutuhkan waktu sendiri.
"Jangan mikir macem-macem."
"Gue bahkan nggak bisa mikir."
"Good!!"
Raya menengok cepat. Tatapannya menerawang bingung ke dalam mata Kenny.
"Bagus!" Kenny kembali menegaskan kata-katanya, "Jangan mikir! Itu cuman ngebebanin lo." Kenny diam sesaat. Ia masih tidak mau melepaskan tangan Raya. "Lo tau siapa gue, lo tau apa yang mungkin dan nggak mungkin gue lakukan. Jadi lo nggak harus mikir untuk nemuin jawabannya. Pake perasaan lo."
"Dan Sasa?!"
"Ada apa dengan Sasa?!" Kenny setengah membentak. Ia melepaskan tangan Raya kemudian menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. "Dia berhubungan sama cowok lain pada saat kami baru jadian 4 bulan, okay? Dan gue baik-baik saja!"
"Nggak mungkin!"
Kenny mengerang frustasi. Namun kemudian ia mencoba menarik napas panjang dan menenangkan dirinya sendiri. "Raya," Kenny memandang mata Raya lekat-lekat, "gue nggak bisa nyalahin dia karena mengkhianati gue, karena gimanapun juga hubungan ini adalah milik dua orang dan ketika hubungan itu gagal sampai menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian, maka itu tanggung jawab keduanya." Kenny meletakan tangannya di pipi Raya. "Sasa ngerasa nggak nyaman sama hubungan ini dan itu juga merupakan tanggung jawab gue, Ra, sampai dia harus cari pelampiasan ke tempat lain. Dan, jujur, gue ngerasa gue juga harus ada buat dia di saat ini. Sumpah, Ra, I'm just being responsible for what she's been through."
Raya menunduk. "Gue nggak ngerti, Kenn, semuanya seolah berbalik dari yang gue tau dua hari yang lalu. You didn't call or text me back, you didn't show up this morning. Dan sekarang lo muncul bersamaan dengan berita menggemparkan itu." Raya mengangkat kepalanya, menatap Kenny dengan matanya yang lembab. "Setelah sekian lama kita deket, baru kali ini gue nggak bisa menafsirkan semua hal yang lo tunjukkan!"
"Gue..." Kenny menatap ke bawah, kemudian ia membuang pandangannya ke kerumunan anak yang sedang berkumpul di tengah lapangan di sebelah kanannya dengan resah. Namun kemudian ia kembali menatap Raya dengan yakin. "Gue nggak tau ini apa, yang jelas gue nggak pernah bisa berhenti peduli sama lo dan gue nggak bisa ngebiarin cowok manapun ngedeketin lo. Gue juga nggak tau mau menafsirkan hal ini gimana! Kalo gue bilang ini cinta, gue nggak tau bisa bertahan berapa lama dan ini bisa menghancurkan semuanya. Tapi kalo gue bilang ini rasa sayang dan memiliki ke sahabat gue sendiri, gue tau..." Kenny meluruskan pandangannya lekat-lekat ke mata Raya, "gue tau, gue akan melewatkan kesempatan berharga."
Raya terdiam. Namun kemudian seulas senyum kecil muncul di ujung bibirnya. "Can't we just give it a try?"
Kenny tersenyum lembut sambil mengangkat bahunya. "Ya, gue baru aja memikirkannya."
"Apa?"
"Bahwa gue akan selalu jadi Kenny yang protektif, Kenny yang ngerti apapun yang ada di otak lo, Kenny yang tau segala sisi kehidupan lo. Dan Kenny yang mau mencoba jadi lebih dari sekedar orang yang rutin nanya lo ada di mana. Gue mau jadi Kenny yang akan selalu berdiri di sebelah lo dan akan lo perkenalkan ke orang lain dengan satu kata," Kenny mengangkat sebelah alisnya, berharap Raya bisa menebak.
Raya mengangguk. Senyumnya semakin lebar mengembang. "Boyfriend."
Selasa, 01 Februari 2011
Everything Part 3
Raya membanting pintu mobil, kemudian ia segera menunduk dan menelungkupkan wajahnya di kakinya. Dadanya sesak karena terhimpit kakinya.
"Bodoh! Sekarang lo jadi kelihatan aneh di mata dia!! Dasar cewek bodoh!" Raya mengumpat pada dirinya sendiri. Ia menarik kakinya ke pelukannya. Tatapannya mengarah ke Kenny yang masih memunggunginya dari atas mobil. Raya menggigit bibir bawahnya.
Untuk beberapa lama mereka berdua diam di posisinya masing-masing, memikirkan apa yang sedang terjadi dan mengapa semuanya menjadi aneh seperti ini.
Tanpa terasa waktu berlalu, langit berubah menjadi gelap namun juga terang karena keberadaan bintang-bintang. Ya, tempat itu memang pantas dosebut Bukit Bintang karena seolah-olah bintang-bintang berkumpul menjadi satu di atas langit tempat itu ketika malam tiba.
Mendadak seseorang mengetuk kaca jendela, membuat Raya terlonjak kaget dan tersadar dari lamunannya. Ia menengok dan melihat Kenny sudah berdiri di sebelah pintu mobilnya. Wajahnya tersenyum lemah, sangat tampan.
Raya membuka pintu perlahan. Kenny memegang tangan Raya untuk membantunya keluar dari mobil walaupun Raya tidak tampak kesuwahan sama sekali. Wajah Raya masih tampak lesu.
Kenny mempersilahkannya untuk maju duluan.
Yang dapat mereka lihat saat itu hanyalah bintang dan lampu yang menerangi seperti bintik-bintik putih di atas kertas hitam. Raya tidak dapat menahan senyumannya. Rasanya sudah begitu lama ia tidak merasakan ketenangan yang sedang dirasakannya saat itu. Raya menengok ke belakang, ingin membagi yang dirasakannya pada Kenny seperti yang selalu dilakukannya. Dan ternyata Kenny tidak sedang menatap ke langit, ia menatap ke arah Raya dan wajahnya masih tersenyum. Senyuman karena melihat Raya, bukan karena bintang-bintang yang begitu indah.
"I'm not good at this," Kenny mulai berbicara dengan kikuk sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Kenny menunduk dan menggerak-gerakan kakinya grogi. "Satu jam yang lalu, gue masih nggak tau apa yang gue mau. Dan lo membuat gue berpikir mengenai apa yang akan gue lakukan dengan kehidupan gue ke depan nanti."
Raya dan Kenny diam. Suasana begitu sepi.
"Tolong tanya apa," kata Kenny terlihat panik.
Raya tertawa. "Apa?"
Kenny tersenyum. "Be your friend. Be your really gooddfriend. Jadi seseorang yang bisa selalu lo pegang."
Senyum Raya perlahan menghilang. Ini tidak seperti yang ia harapkan. Namun, ia masih berusaha tersenyum dengan terpaksa.
"Dan mungkin," Kenny mengangkat jari telunjuknya, "more than just friend for you." Senyuman Kenny semakin melebar kini.
"Ya," Raya kembali tersenyum lebar, "itu yang mau gue dengar." Raya berjalan mendekatinya kemudian memeluknya erat.
Kenny balas memeluk. Ia dapat mencium wangi tubuh Raya yang selalu disukainya.
"Bodoh! Sekarang lo jadi kelihatan aneh di mata dia!! Dasar cewek bodoh!" Raya mengumpat pada dirinya sendiri. Ia menarik kakinya ke pelukannya. Tatapannya mengarah ke Kenny yang masih memunggunginya dari atas mobil. Raya menggigit bibir bawahnya.
Untuk beberapa lama mereka berdua diam di posisinya masing-masing, memikirkan apa yang sedang terjadi dan mengapa semuanya menjadi aneh seperti ini.
Tanpa terasa waktu berlalu, langit berubah menjadi gelap namun juga terang karena keberadaan bintang-bintang. Ya, tempat itu memang pantas dosebut Bukit Bintang karena seolah-olah bintang-bintang berkumpul menjadi satu di atas langit tempat itu ketika malam tiba.
Mendadak seseorang mengetuk kaca jendela, membuat Raya terlonjak kaget dan tersadar dari lamunannya. Ia menengok dan melihat Kenny sudah berdiri di sebelah pintu mobilnya. Wajahnya tersenyum lemah, sangat tampan.
Raya membuka pintu perlahan. Kenny memegang tangan Raya untuk membantunya keluar dari mobil walaupun Raya tidak tampak kesuwahan sama sekali. Wajah Raya masih tampak lesu.
Kenny mempersilahkannya untuk maju duluan.
Yang dapat mereka lihat saat itu hanyalah bintang dan lampu yang menerangi seperti bintik-bintik putih di atas kertas hitam. Raya tidak dapat menahan senyumannya. Rasanya sudah begitu lama ia tidak merasakan ketenangan yang sedang dirasakannya saat itu. Raya menengok ke belakang, ingin membagi yang dirasakannya pada Kenny seperti yang selalu dilakukannya. Dan ternyata Kenny tidak sedang menatap ke langit, ia menatap ke arah Raya dan wajahnya masih tersenyum. Senyuman karena melihat Raya, bukan karena bintang-bintang yang begitu indah.
"I'm not good at this," Kenny mulai berbicara dengan kikuk sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Kenny menunduk dan menggerak-gerakan kakinya grogi. "Satu jam yang lalu, gue masih nggak tau apa yang gue mau. Dan lo membuat gue berpikir mengenai apa yang akan gue lakukan dengan kehidupan gue ke depan nanti."
Raya dan Kenny diam. Suasana begitu sepi.
"Tolong tanya apa," kata Kenny terlihat panik.
Raya tertawa. "Apa?"
Kenny tersenyum. "Be your friend. Be your really gooddfriend. Jadi seseorang yang bisa selalu lo pegang."
Senyum Raya perlahan menghilang. Ini tidak seperti yang ia harapkan. Namun, ia masih berusaha tersenyum dengan terpaksa.
"Dan mungkin," Kenny mengangkat jari telunjuknya, "more than just friend for you." Senyuman Kenny semakin melebar kini.
"Ya," Raya kembali tersenyum lebar, "itu yang mau gue dengar." Raya berjalan mendekatinya kemudian memeluknya erat.
Kenny balas memeluk. Ia dapat mencium wangi tubuh Raya yang selalu disukainya.
Langganan:
Postingan (Atom)