Raya memasuki kantin sambil selingak-celinguk mencari Kenny. Sudah seharian Kenny tidak muncul dan tidak membalas SMS-nya semenjak dua hari yang lalu setelah mereka pulang dari Bandung. Kenny menghilang tidak ada kabar.
Raya duduk sendirian di meja pojok kantin. Sebuah SMS masuk. Hey, how are you?
Raya segera memencet tombol reply. Bisa tinggalin gue sendiri?
Tidak lama kemudian sebuah SMS masuk kembali masuk.
"Cepet banget hubungan internasional," Raya berkata kepada dirinya sendiri. Ia membuka flip handphonenya dan membaca SMS yang ternyata bukan berasal dari Rio, yang sebelumnya mengirim SMS.
SMS itu ternyata dari Marsha, salah satu teman terdekat Raya sejak kelas 2 SMA yang juga menyadari kedekatan yang berbeda antara Kenny dan Raya. Maaf Ra tapi gue barusan denger Sasa nangis-nangis di kamar mandi ke Lila. She's pregnant. Is everything okay?
Raya menyenggol teh botolnya sampai seluruh isinya tumpah ke atas meja dan mengalir sampai ke roknya. Raya melonjak berdiri sambil menepuk-nepuk pahanya yang basah. Kemudian ia meletakan handphonenya di sisi meja yang kering. Matanya menatap ke sekeliling dengan panik, namun kemudian tubuhnya terduduk lemas. Raya meletakan tangannya di kepala dengan frustasi. Sasa hamil?! Hamil?! Ya Tuhan, Sasa hamil!
Kepanikan menyerang Raya dengan seksama. Selain karena salah satu teman seangkatannya hamil, juga karena Sasa dan Kenny baru saja putus, yang artinya Kenny adalah cowok terakhir yang memiliki hubungan asmara dengannya, yang artiny juga Kenny mungkin menjadi orang yang seharusnya bertanggung jawab.
Raya berdiri, mengambil handphoenya dan kemudian berjalan tanpa arah. Hatinya kalut. Saat ini yang dibutuhkannya hanyalah pembuktian dari Kenny. Dan Kenny menghilang!
Raya, tanpa sadar, sampai di lorong kelas 2. Di ujung lorong terdapat gudang serbaguna dan...di sana Sasa sedang bersandar. Ia tampak berbicara dengan orang lain yang tubuhnya terhalang oleh tembok kelas.
Raya diam di tempatnya. Memperhatikan dengan rasa penasaran yang mendadak datang.
Pembicaraan Sasa dengan lawan bicaranya tampak semakin emosional. Sasa mulai menangis, ia membuang pandangannya ke arah halaman di sebelah kanannya. Tiba-tiba seorang cowok muncul dari balik tembok yang sebelumnya menghalanginya. Cowok itu memeluk Sasa dan kini Sasa menangis di pundak cowok yang berdiri tegap dan lebih tinggi darinya.
Tunggu, aku tau postur itu...
Sasa bertemu pandang dengan Raya. Kemudian Sasa berkata sesuatu pada orang yang memeluknya. Kenny menengok. Ekspresinya tampak panik. Ia meninggalkan Sasa, berlari mengejar Raya yang sudah pergi dari tempat itu dengan lebih cepatm.
"Ra! Raya!" Kenny yang lebih tinggi darinya itu berhasil menyusul dan meraih tangan Raya untuk menahannya.
Raya tidak mau berbalik untuk menatap matanya. Raya terlalu bingung untuk melakukan apa, segalanya bercampur jadi satu dan saat ini ia hanya membutuhkan waktu sendiri.
"Jangan mikir macem-macem."
"Gue bahkan nggak bisa mikir."
"Good!!"
Raya menengok cepat. Tatapannya menerawang bingung ke dalam mata Kenny.
"Bagus!" Kenny kembali menegaskan kata-katanya, "Jangan mikir! Itu cuman ngebebanin lo." Kenny diam sesaat. Ia masih tidak mau melepaskan tangan Raya. "Lo tau siapa gue, lo tau apa yang mungkin dan nggak mungkin gue lakukan. Jadi lo nggak harus mikir untuk nemuin jawabannya. Pake perasaan lo."
"Dan Sasa?!"
"Ada apa dengan Sasa?!" Kenny setengah membentak. Ia melepaskan tangan Raya kemudian menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. "Dia berhubungan sama cowok lain pada saat kami baru jadian 4 bulan, okay? Dan gue baik-baik saja!"
"Nggak mungkin!"
Kenny mengerang frustasi. Namun kemudian ia mencoba menarik napas panjang dan menenangkan dirinya sendiri. "Raya," Kenny memandang mata Raya lekat-lekat, "gue nggak bisa nyalahin dia karena mengkhianati gue, karena gimanapun juga hubungan ini adalah milik dua orang dan ketika hubungan itu gagal sampai menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian, maka itu tanggung jawab keduanya." Kenny meletakan tangannya di pipi Raya. "Sasa ngerasa nggak nyaman sama hubungan ini dan itu juga merupakan tanggung jawab gue, Ra, sampai dia harus cari pelampiasan ke tempat lain. Dan, jujur, gue ngerasa gue juga harus ada buat dia di saat ini. Sumpah, Ra, I'm just being responsible for what she's been through."
Raya menunduk. "Gue nggak ngerti, Kenn, semuanya seolah berbalik dari yang gue tau dua hari yang lalu. You didn't call or text me back, you didn't show up this morning. Dan sekarang lo muncul bersamaan dengan berita menggemparkan itu." Raya mengangkat kepalanya, menatap Kenny dengan matanya yang lembab. "Setelah sekian lama kita deket, baru kali ini gue nggak bisa menafsirkan semua hal yang lo tunjukkan!"
"Gue..." Kenny menatap ke bawah, kemudian ia membuang pandangannya ke kerumunan anak yang sedang berkumpul di tengah lapangan di sebelah kanannya dengan resah. Namun kemudian ia kembali menatap Raya dengan yakin. "Gue nggak tau ini apa, yang jelas gue nggak pernah bisa berhenti peduli sama lo dan gue nggak bisa ngebiarin cowok manapun ngedeketin lo. Gue juga nggak tau mau menafsirkan hal ini gimana! Kalo gue bilang ini cinta, gue nggak tau bisa bertahan berapa lama dan ini bisa menghancurkan semuanya. Tapi kalo gue bilang ini rasa sayang dan memiliki ke sahabat gue sendiri, gue tau..." Kenny meluruskan pandangannya lekat-lekat ke mata Raya, "gue tau, gue akan melewatkan kesempatan berharga."
Raya terdiam. Namun kemudian seulas senyum kecil muncul di ujung bibirnya. "Can't we just give it a try?"
Kenny tersenyum lembut sambil mengangkat bahunya. "Ya, gue baru aja memikirkannya."
"Apa?"
"Bahwa gue akan selalu jadi Kenny yang protektif, Kenny yang ngerti apapun yang ada di otak lo, Kenny yang tau segala sisi kehidupan lo. Dan Kenny yang mau mencoba jadi lebih dari sekedar orang yang rutin nanya lo ada di mana. Gue mau jadi Kenny yang akan selalu berdiri di sebelah lo dan akan lo perkenalkan ke orang lain dengan satu kata," Kenny mengangkat sebelah alisnya, berharap Raya bisa menebak.
Raya mengangguk. Senyumnya semakin lebar mengembang. "Boyfriend."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar