Senin, 31 Januari 2011

Everything Part 2

Raya menatap matahari yang mulai memunculkan cahayanya di pagi hari dari balkon kamarnya. Ia menopangkan dagunya pada kayu penyanggah. Jakarta begitu tenang di hari Sabtu pagi itu. Ia kemudian menatap ke bawah dan melihat mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Tidak lama kemudian Kenny keluar dengan celana pendek coklat muda dan kaos polos putih, rambutnya masih acak-acakan namun senyum di wajahnya begitu lebar ketika melihat Raya yang menatapnya dari balkon.
Raya masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu balkon. Ia mengambil ranselnya kemudian turun ke bawah untuk berpamitan kepada orang tuanya yang masih tidur. Tidak lama kemudian Raya sudah masuk ke dalam mobil Kenny. Mereka segera berangkat menuju ke Lembang.
"Tumben tepat waktu," celetuk Raya memulai perbincangan mereka pagi itu.
Kenny melirik kemudian terkekeh sendiri. "Telat bangunnya sebenernya tadi."
"Udah bisa nebak gue."
Mereka melalui perjalanan panjang selama empat jam menuju Lembang. Sesekali mereka berhenti di pinggir jalan tol untuk mengambil foto atau hanya menikmati pemandangan hamparan sawah dan pegunungan di depan mereka. Komitmen mereka hari itu adalah what happen in Jakarta stays in Jakarta, jadi mereka sama sekali tidak membawa pembicaraan lain selain liburan hari itu.
"Makan dulu ya, Ra, laper," kata Kenny begitu keluar dari pintu tol Lembang, "gue tau tempat makan enak!"
Raya mempercayakan Kenny untuk membawanya ke mana pun.
Kenny dan Raya sampai di salah satu restoran terkenal di Lembang. Mereka memasuki area restoran yang sangat besar dan bersatu dengan alam tersebut. Salah satu pelayannya mempersilahkan mereka untuk duduk di salah satu dari gubuk-gubuk kecil di sisi air terjun buatan.
Mereka memesan makanan sambil menikmati suasana yang begitu nyaman sekaligus romantis di tempat itu. Sesekali mereka bercanda tawa dan melupakan segala masalah yang ada.
Tiba-tiba sebuah SMS masuk ke handphone Raya. Nomernya seperti nomer luar negeri.
"Siapa, Ra?" tanya Kenny begitu melihat perubahan ekspresi Raya setelah membaca SMS-nya.
"Rio."
"Apa katanya?" tanya Kenny datar.
Raya menyodorkan handphonenya dan tampak di layarnya satu kalimat yang begitu jelas. I miss you, hope you're okay now :)
Kenny membuang muka setelah selesai membacanya. "Kalo aja si brengsek itu tau kalo lo jadi kenapa-napa setelah dapet SMS itu."
Raya menatap Kenny cepat. "Gue nggak apa-apa kok!" nadanya terdengar defensif.
"Oh ya?"
"Iya!"
"Yasudahlah, nggak penting!" Kenny mengibas-ibaskan tangannya, tidak peduli.
Raya tersenyum kecil. "I'm okay as long as I have you," katanya dengan volume suara yang kecil, namun Kenny dapat mendengarnya.
Kenny mengangkat kepalanya cepat, menatap Raya yang sudah membalikan wajah untuk menutupi ekspresi malunya.
Kenny tertawa kecil. "Well, then you'll be okay forever."
Kali ini Raya kembali menatap Kenny, tidak menyangka respon yang akan didapatnya dari Kenny. Ia tidak dapat menutupi senyumannya. Raya tau Kenny memang sahabat yang terbaik untuknya.
"Cabut yuk," ajak Raya sambil memberesi barang-barangnya.
"Ra, mau ke mana nih?" tanya Kenny sambil menahan tangan Raya.
Raya tampak berpikir. "Ke tengah kota Bandung aja deh, Kenn, terus nanti menjelang malem kita ke Bukit Bintang ya. Pleaseee," mohon Raya dengan gaya kekanak-kanakan.
Kenny tersenyum melihat Raya memohon seperti itu padanya. "Okay, okay, this is your trip." Kenny menganggukan kepalanya.
Akhirnya, sore pun tiba. Setelah muter-muter keliling kota Bandung, dari mulai tempat bersejarah sampai ke FO, akhirnya mereka menuju ke Dago. Di daerah Dago ada sebuah dataran tinggi yang menghadap langsung ke kota Bandung dan ketika malam tiba, bintang-bintang berkelap-kelip seirama dengan cahaya gedung-gedung.
Mereka tiba di Bukit Bintang tepat pukul 5 sore. Matahari mulai terbenam di balik pegunungan seberang tempat itu. Kenny memarkir mobilnya di dataran paling tinggi. Kemudian mereka keluar dari mobil dan duduk di atas kap mobil Kenny.
Untuk beberapa lama mereka hanya diam, menikmati angin yang mulai menggerogoti tulang mereka.
"Kenn," panggi Raya sambil memejamkan matanya dan mendongakan kepalanya ke arah langit.
"Hm?"
"Nggak nyeselkan ya nganterin gue ke sini?"
Kenny menengok. Ia menatapi seluruh lekukan wajah Raya yang membuat gadis ini selalu menjadi idola cowok manapun. Ya, sahabatanya bukan hanya menyenangkan, juga sangat cantik, namun sikapnya yang terlalu sederhanalah yang membuatnya semakin menarik di mata Kenny. Apa yang telah dilakukannya selama ini? Membuang-buang cewek yang begitu istimewa di depannya hanya untuk dijadikan sebatas sahabat? Kalau saja ia sudah membuka mata dari dulu, ia tidak perlu repot-repot menyukai cewek lain.
"Kenny?"
"Ya?"
"Nggak nyeselkan?" Raya menundukan kepalanya kemudian menatap Kenny lekat-lekat. Bibir dan matanya tampak tersenyum.
Kenny tersenyum. "Nggak akan pernah," katanya sambil menggeleng.
Raya terdiam. Mendadak suasana begitu canggung antara dirinya dan Kenny. Setelah 6 tahun mereka menghabiskan waktu bersama, untuk pertama kalinya mereka....bersikap malu-malu? Atau itu hanya perasaan Raya.
"Lo harus terima Rio lagi."
Raya menengok cepat. "Kata lo dia brengsek?"
"Gue yakin dia berubah," Kenny menunduk kemudian tersenyum, "selama ini gue selalu bilang dia brengsek karena gue nggak mau kehilangan lo."
Raya menggeleng. "Gue nggak akan ke mana-mana."
"Lo nggak ngerti, Ra. Sekarang mungkin kita emang berkomitmen untuk ngutamain kepentingan satu sama lain di atas pacar kita, tapi nanti? Gimana ketika lo udah nemuin suami lo? Cowok yang bakalan ada di samping lo selamanya? Apa lo rela ngorbanin dia buat gue?" Kenny menatap Raya dengan kalut. "Gue takut, Ra! Tapi gue bisa apa? Kita bakalan punya dua kehidupan yang berbeda! Dan nggak sepantesnya kita ngorbanin kehidupan kita buat satu sama lain."
"Jadi...maksud lo persahabatan kita worthless?"
Kenny menggeleng. "Gue sayang sama lo, Ra, ta-"
"Gue juga sayang sama lo!" potong Raya. Setetes air mata jatuh dari pipinya, ia segera mengelapnya dengan punggung tangannya cepat.
"As friend, Ra-"
"No!" Raya berkata tegas, air matanya jatuh semakin banyak, "I literally love you, Kenn!"
Kenny diam. Ia mencoba memproses maksud Raya yang ia rasa agak berbeda dari kalimatnya tadi. Ya Tuhan, Raya. "Gue pikir lo...Nggak, nggak, lo bercanda...Tunggu! Tunggu!" Kenny menjabak rambutnya frustasi. What should I do? What should I do? Raya!
Raya turun dari kap mobil tanpa berbicara. Ia membuka pintu mobilnya dan sebelum ia masuk, ia menatap Kenny yang masih diam saja. "Gue nggak tau kenapa lo harus segini bingungnya, Kenn. Face it, we're more than just friends."
Raya menutup pintu mobil. Kenny masih berada di posisinya yang sama dengan pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya.

Minggu, 30 Januari 2011

Everything Part 1

Ting tong!
"Mbok," Raya menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi, "itu Kenny tolong dibukain, mbok." Tanpa menunggu ada orang yang meresponnya, Raya kembali menutup pintu kamar mandi rapat.
Tok tok!
Raya kembali membuka pintu kamar mandi sedikit. Pembantu yang sudah bekerja berpuluh-puluh tahun untuk keluarganya berdiri di depan pintu.
"Non, itu Mas Kenny mau dibikinin apa?" tanya Mbok Kiki.
"Lha? Ya tanya orangnya dong, masa tanya aku?"
"Kata Mas Kenny, non ngerti Mas Kenny mau apa."
Raya berdecak sebal. "Dia di mana sekarang?"
"Di ruang TV."
"Bilangin suruh ambil sendiri aja deh!" Raya kembali menutup pintu kamar mandi.
"Udah selesai beloooom?" tiba-tiba suara cowok yang terdengar manja muncul dari balik pintu, "Katanya mau cabut hari ini! Udah jam 10 nih!"
Raya membuka pintu lebar dengan tatapan datar. "Lo janjinya dateng jam 7! Kalo sekarang, gue udah males." Raya berjalan melalui Kenny sambil melempar buntelan handuk dan pakaian kotornya ke keranjang sebelah pintu kamar mandi.
"Yah, kok gitu, Ra?" Kenny terdengar menyesal. Ia melangkah cepat menyusul Raya yamg sudah beberapa langkah di depannya. "Maaf, Ra."
Raya tidak pernah bisa menyembunyikan senyumnya ketika menatap Kenny yang mudah merasa bersalah. Walaupun ia berusaha mati-matian untuk terlihat marah, senyum tetap mengembang di wajahnya. "Nggak apa-apa kok. Kita hari ini main game di rumah gue deh!" Raya kembali terdengar ceria.
Mereka duduk di ruang TV dan menghabiskan waktu bersama selama berjam-jam di tempat itu. Pertama mereka menonton film, kemudian lanjut main Nitendo Wii berdua, dan akhirnya Kenny sendirian main Play Station sedangkan Raya hanya menonton. Banyak hal mereka bicarakan, walaupun setiap hari bertemu di sekolah dan sms-an namun ketika menghabiskan waktu bersama pasti banyak yang mereka bicarakan.
Raya dan Kenny bersahabat semenjak mereka SMP bahkan sampai sekarang mereka kelas 3 SMA. Mereka berdua tidak terpisahkan. Mereka selalu bercerita mengenai hari-hari mereka setiap malam, dan mereka selalu berkomitmen bahwa mereka akan selalu mengutamakan kepentingan satu sama lain diatas apapun, termasuk pacar-pacar mereka sendiri. Itulah yang menyebabkan banyak cowok maupun cewek tidak kuat mengatasi kecemburuan mereka.
Kenny masih seru sendiri dengan permainannya. Di sebelahnya, Raya duduk bersila sambil mengecek handphonenya.
"Ken, lo hari ini 7 bulanan ya?" Raya tiba-tiba bertanya.
Kenny hanya melirik kemudian tersenyum seadanya.
"Kok nggak bilang sama gue?" kata Raya jutek, "Gue mau nyelametin Sasa dulu kalau gitu."
Kenny tiba-tiba menekan tombol pause pada stick PS-nya dan segera menahan tangan Raya. "Jangan, Ra, gue putus." Kalimat itu meluncur dengan cepatnya dari mulut Kenny. Tatapannya tidak enak.
Raya berusaha mengontrol suaranya mendengar kabar yang mengejutkan itu. Masalahnya ia tidak pernah mendengar Kenny bercerita hal negatif mengenai hubungannya dengan Sasa, bahkan ia sangat jarang mendengar Kenny bercerita tentang Sasa. Mungkin di situ keanehannya. "Ada apa?"
"Gue juga nggak tau! Lo taulah, gue dan Sasa jarang banget berantem. Yang gue tau adalah sejak masuk bulan kelima pacaran, kami jadi jaraaang banget komunikasi. Dan 5 hari yang lalu dia minta putus dengan alasan kami udah nggak sejalan lagi."
"Dan lo terima gitu aja?" tanya Raya cepat.
Kenny menatap ke lantai kemudian mengangkat bahunya. "Ya, gimana, Ra? Gue juga ngerasa hal yang sama."
Raya menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Kenny tidak berhenti menatapnya untuk melihat ekspresi Raya selanjutnya, karena Raya pasti akan marah besar karena ia baru memberitahunya.
Raya diam lama, mencerna segala hal yang mendadak bercampur satu di dalam kepalanya. Kemudian ia menengok ke arah Kenny dan menatap matanya.
"Seminggu yang lalu Rio balik dari Australia cuman untuk ngajakin gue balikan."
"Serius lo?" Kenny yang sekarang gantian menghempaskan badannya ke sandaran sofa dan menatap Raya terkejut.
Raya mengangguk. "Udah setengah tahun gue nggak mau komunikasi dengan dia. Dia pikir dengan pulang ke Jakarta dan ngajak gue balikan secara langsung bakalan bikin gue luluh?" tanyanya terlebih kepada dirinya sendiri. Nada suaranya terdengar emosi.
"Tapi...lo kangen sama dia?" tebak Kenny.
Raya menengok cepat dan menatap tajam Kenny. Namun, dalam waktu sebentar kepalanya bersandar lunglai di pundak Kenny. Raya hanya mengangguk.
"Rio itu cowok brengsek." Kenny menatap lurus ke depan.
"Sasa itu cewek yang baik." Raya menatap Kenny dengan tatapan prihatin.
Kenny menengok dan mendapati sahabat kecilnya yang tampak sedih. Ia tertawa kecil. "Well, now, we're even."
Raya tersenyum. Mereka diam untuk beberapa saat.
Namun kemudian Raya teringat akan suatu hal. "Eh, Kenn, temenin gue kabur yuk minggu depan!"
"Dari rumah? Serius?"
"Sehari aja, lebay," Raya memutar bola matanya, "gue mau ke Lembang, pokoknya ke tempat yang bisa menyepi."
"Sama siapa aja?"
Raya nyengir. "Tadinya mau sendirian."
"Ah gila! Lo mau nyupir sendiri?!" Kenny geleng-geleng kepala, "Kalo gini kasusnya, gue wajib ikut! Nggak akan gue biarin lo ke tempat jauh begituan sendiri."
"I know you wouldn't. Tapi nggak usah ajak siapa-siapa ya, Kenn, gue lagi pengen sepi-sepi aja."
Kenny mengangguk bersemangat. Harus diakui selama hampir 6 tahun bersahabat dengan Raya, ia sangat jarang pergu keluar kota dengannya. "Okay!"

Minggu, 23 Januari 2011

Kami

"Del, besok prom."
Adel tersenyum kecil. "Iya, tau kok. Terus kenapa?"
"Emang harus ada pasangan ya? Kamu udah ada pasangan?"
"Kamu sendiri udah ada?" Adel berusaha terdengar tenang. Ya Tuhan, jangan bilang Bima mau ngajak aku!! Panik!
Bima melengos sambil tertawa kecil. "Mana ada yang mau sama aku." Ia kembali menatap Adel.
Aku mau, Bim, aku mau!!!!  "Berasa jelek ya, Bim?" Adel berpura-pura sinis pada cowok yang memenangkan predikat terganteng ketiga di angkatannya menurut voting buku tahunan. Tatapan Adel beralih pada gadis putih yang dikelilingi banyak cowok di ujung ruangan. "Udah coba ajak Najla?"
"Cewek murahan itu?" Bima memutar bola matanya namun raut wajahnya tetap terlihat kalem, "Mending nggak usah pergi."
Adel tertawa kecil. "Jahat banget kamu. Itu mantan kamu lho. Dan sebenarnya dia baik kok sama aku tapi mungkin terlalu...agresif?"
"Hati-hati kamu dimanipulasi dia!" nada bicara Bima terdengar seperti anak kecil.
Adel dan Bima tertawa bersama ketika menyadari kata-kata Bima yang sebenarnya, harus diakui, benar. Mereka terdiam sebentar. Kemudian saling menatap lagi.
"Kamu nggak pergi sama Toni? Dia keterima di universitas impiannya di Jogja lho dan dia akan pindah tiga hari lagi. Dan waktu itu dia cerita kalau dia mau ngajakin kamu balikan. Dia masih sayang sama kamu."
Kali ini Adel yang melengos kesal. "Sejak kapan kamu jadi temen curhatnya dia?"
Bima tersenyum kecil. "Jangan sinis gitu dong."
"Aku nggak suka." Adel tidak menatap mata Bima walau Bima berusaha mencari titik temu mata mereka berdua.
"Dia serius, Del, kalau enggak dia nggak akan nungguin kamu setiap hari pada masa persiapan wisuda kemarin ini." Bima menyapu rambut yang terjatuh di kening Adel dengan halus. Tatapannya penuh ketenangan.
Adel akhirnya menatap mata Bima. Tatapannya begitu sendu. "Aku pulang aja ya kalo nggak ada lagi yang mau kamu bicarain." Adel berjalan gontai, namun Bima menahan lengannya.
"Mau pergi prom dengan gue?"
Bima menunggu jawaban Adel, matanya terus menatap Adel yakin, tangannya masih menahan lengan Adel.
Adel tidak bisa menahan senyumannya. "Aku mau."
"Terima kasih," Bima tersenyum.

Adel's POV
Bima memang unpredictable buat aku. Dia muncul di saat aku berantakan menghadapi akhir hubunganku dengan Toni. Dan saat yang bersamaan dia datang padaku juga dengan hati yang hancur karena perdelingkuhan pacarnya, Najla. Kami bertemu untuk saling melengkapi dan menyembuhkan. Kami tidak pernah meresmikan hubungan ini tapi ini adalah saat-saat paling berbahagia untukku. Rasa yang menakjubkan setiap kali aku bertatapan dengannya, walau jarak kami sangat jauh, dan tiba-tiba saling tersenyum malu.

Bima's POV
Besok prom, malam terakhir di SMA. Malam terakhir gue bisa sama-sama Adel. Gue tau hal ini akan berakhir setelah gue pisah sama dia. Maybe I shouldn't be in this relationship from the first place. Hubungan tanpa status ini bukan hal yang nyata, ini bisa berakhir kapan aja. Dan bukannya menyembuhkan kita berdua tapi malah makin nyakitin. Tapi di sisi lain gue belum siap untuk masuk sepenuhnya ke dalam hubungan yang sesungguhnya, dan gue nggak yakin dia juga.
Cinta itu memang konyol. Sayang itu bukan perasaan yang nyata. Kami hanya fatang di saat yang tepat untuk saling mengisi. And it's gonna be over very soon.

Adel dan Bima duduk di luar gedung. Suara musik yang teredam dari dalam gedung seolah betada di luar dunia mereka masing-masing.
Tidak ada yang mereka katakan. Inilah fungsi mereka satu sama lain, hanya untuk menemani dan membuat mereka percaya bahwa mereka tidak sendiri menghadapi luka di hati.
Beberapa teman mereka keluar dari gedung, menuju taman di depan mereka untuk mulai mengambil makan malam yang disajikan di taman. Beberapa dari mereka menyapa dan tersenyum melihat ketenangan dua orang itu walau terkadang pertanyaan terus muncul mengenai hubungan mereka yang sesungguhnya.
"Mau diambilin nggak makannya?" Adel akhirnya membuka pembicaraan.
Bima nyengir lebar. "Hee, mau, makasih."
Adel tertawa. Ia berjalan mengambil makanan untuk Bima. Sesekali ia berbicara dengan temannya, namun tujuan utamanya hanya untuk mengambil makanan Bima. Ia kembali ke tempat duduknya kemudian menyerahkan sepiring nasi dan lauk pada Bima. Adel memperhatikan Bima mulai memakan makanannya.
"Kenapa?"

Adel's POV
Aku nggak pernah habis pikir kenapa Bima mau punya hubungan kayak gini sama aku. Aku dibandingin sama Najla, perbandingannya kayak langit dan bumi. Begitu juga Toni kalau dibandingin dengan Bima. Bima dan Najla adalah pasangan paling cocok karena sama-sama ganteng dan cantik. Aku dan Toni juga cocok karena kami sama-sama berbadan lebih dari ukuran normal remaja seumuran kami. Hanya satu kesamaan kami, kami sama-sama disakiti oleh mantan-mantan kami.
Toni tidak pernah malu jalan berdua denganku, dia tidak pernah malu menyebut namaku lembut kemudian berbicara seolah aku memang pacarnya, dia tidak pernah berhenti menatapku ataupun mendengarkan dan berbicara kepadaku. Dia memang seorang yang berhati baik dan tidak pernah menilai orang dari fisik.
Aku pengen dia tau kalau aku benar-benar ingin hubungan ini berlanjut terus dengan status yang jelas. Tapi apa dia juga menginginkan hal yang sama? Aku takut jika aku memaksakan keinginanku, aku akan kehilangan semua ini lebih cepat dari yang awalnya kami rencanakan.
Tapi aku sayang dia. Walau hanya 3 bulan, walau hubungan ini akan berakhir malam ini, aku selalu sayang dia.

"Kenapa apa?" Bima menatap Adel dengan tatapannya yang boyish.
Adel tertawa kecil. "Nggak apa-apa," ia memutuskan untuk tidak menanyakan pertanyaan yang 3 bulan terakhir terus menghantuinya.
Adel dan Bima kembali diam.

Bima's POV
Kami sering melalui momen ini ketika sedang berduaan. Momen dimana kami hanya diam saja. Tapi bukan diam yang canggung, melainkan diam menikmati ketenangan. Ya, gue akan selalu merasa tenang bersama dia. Gue nggak tau kapan lagi gue akan merasa setenang ini.
Dia nggak mungkin punya perasaan yang sama dengan gue. Dia mau menjalani semua ini hanya karena dia ngerasa kesepian, bukan karena memang dia beneran sayang sama gue. Tidak seperti gue sayang ke dia.

Bima melihat jam tangannya. Sudah pukul 11 malam. Gedung prom masih ramai.
4 jam terakhir ia dan Adel terus mondar-mandir keluar dan masuk gedung untuk setidaknya menunjukan bahwa mereka belum pulang. Walau sebenarnya mereka berdua bukan penyuka keramaian macam clubing seperti konsep prom mereka malam itu.
Adel dan Bima baru saja keluar untuk yang kelima kalinya pada satu jam terakhir. Kaki mereka melangkah menuju ke gerbang keluar. Mereka bisa pulang kapan saja mereka mau. Sesekali diam mereka diselingi canda kecil.
Bima menatap ke deretan parkiran mobil. "Aku pulang ya." Ia menatap Adel ragu.
Adel tersenyum kemudian mengangguk. Ia sangat tau bahwa Bima adalah tipe cowok rumahan.
"Tapi aku nungguin kamu dijemput dulu deh."
"Aku juga mau pulang kok bentar lagi dan supirku udah nunggu di parkiran depan." Adel menunjuk ke arah mobil di ujung jalan.
Bima mengantar Adel sampai ke mobilnya. Mereka saling menatap sesaat kemudian secara spontan Adel memeluk Bima erat. Bima tidak melawan, ia balas memeluknya.
"Makasih sudah bikin gue merasa berharga," Adel berkata sambil terus meletakan kepalanya di dada Bima.
Bima tertawa kecil. "Kamu memang berharga. Toni adalah orang bodoh karena pernah nyakitin kamu."
Adel melepaskan pelukannya. Ia ingin melihat senyuman Bima.
Bima menyapu rambut di kening Adel dengan senyumannya yang begitu lembut dan tenang.
"Good bye, Adel."
Bima membalikan badannya. Adel terdiam sambil terus menatap punggung Bima. Ia tau, semuanya sudah berakhir. Kemudian Adel masuk ke dalam mobilnya, ia duduk menatap ke luar jendela, lalu ia mengambil hamdphonenya, membuka contacts list nya, mencari nama Bima, memencet tombol delete. Dan Bima sudah pergi selamanya.
Dadanya sesak. Ia menunduk dan menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tqngannya. Adel menangis.

Adel's POV
Hari ini tepat memasuki tahun keduaku kuliah. Setiap hari aku terus teringat Bima dan, ya, kami sama sekali tidak pernah berhubungan lagi. Kemarin teman dekatku yang satu kampus dengan Bima mengunjungiku dan berkata bahwa Bima dulu juga memiliki perasaan yang sama denganku, namun ia takut aku menolaknya, menyakitinya lagi seperti yang sudah dilakukan Najla. Dan itu dulu.
Sekarang? Aku berusaha untuk move on. Walau masih terus teringat dan kangen pada Bima serta semua kenangan kami. Aku mencoba menjalani hiduplu sendiri, mencari orang yang tepat untukku. Aku belum menemukannya. Aku belum menjalani hubungan dengan siapapun lagi sejak hubungan terakhirku, hubungan yang akan selalu kukenang dan kubanggakan, hubunganlu dengan Bima.

Kamis, 06 Januari 2011

I Believe You

Aku terbangun ketika mendengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.
"Okay, okay!" aku menggeliat malas.
Ketukan itu kembali terdengar, membuatku berdiri dengan malasnya dari tempat tidur. Aku membuka pintu kamar dan mama sudah berdiri di depanku.
"Ganti baju, Abi sudah nunggu di halaman belakang," mama berkata dengan lembutnya, kemudian pergi meninggalkanku begitu saja. Aku yang masih setengah bangun berusaha mencerna kata-kata mama. Aku lihat jam dinding di dalam kamarku. Ya Tuhan, ini hari Minggu dan Abi sudah datang ke rumahku jam 7 pagi! Kayaknya dia ngerjain aku aja.
Aku mengganti pakaian piyamaku dengan celana pendek dan kaos santai. Aku bahkan belum mencuci muka dan menyikat gigiku, namun akhirnya aku memutuskan untuk langsung turun ke lantai bawah dan segera menuju ke taman belakang.
Aku lihat Abi, laki-laki yang sudah menjadi kekasihku selama 2 tahun terakhir, sedang duduk santai di tepi kolam renang. Ia sedang melamun dan kehadiranku menyadarkannya.
Abi tertawa melihat wajah kucel sekaligus cemberutku.
"Kamu ngapain muncul jam segini?" tanyaku jutek padanya.
Ia tersenyum dan menepuk bangku di sebelahnya, memintaku duduk bersamanya. Aku menuruti saja permintaannya.
"Ada apa?" aku kembali bertanya.
Ia tampak malu mengatakan sesuatu. "Aku mau ngasih tau kamu sesuatu."
Aku mencoba membaca gelagatnya yang menurutku aneh. Dan kemudian sesuatu muncul dalam kepalaku. Aku setengah menjerit, "Kamu dapet kerjaan itu?!"
Aku dan Abi bertemu di kampus kami 3 tahun yang lalu. Ketika itu aku baru memasuki tahun pertama dan Abi sudah memasuki tahun ketiga. Dua tahun yang lalu Abi lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, namun ia memutuskan untuk tidak serius bekerja. Abi hanya mencari beberapa lowongan magang sambil kerja sambilan sebagai outdoor photographer. Sampai akhirnya sebulan yang lalu ia mendapatkan tawaran pekerjaan yang, menurutku, sangat hebat untuk orang seumurannya.
Abi tampak berbinar-binar dan kemudian ia mengangguk. "I got the job!"
Aku berteriak kencang, bahagia atas keberhasilannya. Aku langsung memeluknya erat-erat dengan perasaan bangga. "Kamu hebat banget!"
"Tapi masih ada yang mau aku kasih tau lagi," suaranya kali ini terdengar lebih kalem.
Aku melepaskan pelukanku. "Apa?"
Abi menghela napas panjang. Wajahnya tersenyum lembut, senyuman yang selalu membuatku luluh. "Sebelum aku kerja, mereka mau ngebiayain aku kuliah di Belanda selama beberapa tahun, and then they'll send me to Sumatera."
Aku terkejut, namun aku berusaha mengontrol emosiku. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi dan masih berusaha untuk tersenyum excited.
"Mereka mau membuka cabang perusahaan baru di Sumatera, dan mereka mau aku yang mimpin di sana. Walaupun aku masih muda, tapi aku udah cukup memenuhi harapan mereka."
Aku masih berusaha mengontrol diri. Aku harus ngomong. "Tapi Belanda dan kemudian Sumatera, Bi? Kapan kamu akan pulang?"
Abi mengangkat bahunya dengan ragu. "Ketika di Belanda, mungkin setiap tahun. Di Sumatera, sebulan, dua bulan. Tapi nggak akan lebih dari tiga bulan!" katanya berusaha meyakinkanku.
Aku mengangguk. "Ya, ya, aku percaya kok." Aku berkaca-kaca dan berusaha menutupinya dengan menunduk, namun aku yakin ia menyadarinya.
Abi kembali menghela napas. Ia menyentuh pipiku dengan lembut. "Hey, hey, jangankan dari Belanda, dari ujung dunia pun aku pasti akan langsung pulang ketika kamu butuh aku."
Aku tersenyum pahit. "Kita nggak pernah pisah lebih dari seminggu selama 2 tahun terakhir, Bi! Aku nggak tau..."
"Kita udah sama-sama dewasa. Kamu tau apa yang aku mau," Abi merangkulku, "aku mau nikah sama kamu, aku mau kita punya anak kembar," Abi tertawa kecil, "jadi jangan pernah berpikir bahwa ini akhir dari semuanya, hanya karena kita akan tinggal berjauhan. Buat aku, ini awal yang sesungguhnya."
Aku masih tertunduk diam. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kami akan baik-baik saja, namun aku tidak cukup berani untuk percaya.
"Sekarang tutup mata kamu deh," pintanya.
Aku menurutinya. Selama beberapa lama aku tidak mendengar apapun. Sampai akhirnya suara suatu benda masuk ke dalam sekumpulan air dengan keras. Ada yang masuk ke dalam kolam renang rumahku. Aku langsung membuka mata. Abi tidak lagi duduk di sebelahku, namun kemudian aku lihat bayangan dalam kolam renang. Abi ingin main-main di saat kayak gini?
Aku akhirnya menyeburkan diri ke dalam kolam renang juga. Di dalam air aku melihat Abi diam saja, matanya tertutup. Aku pikir ia hanya bercanda saja. Aku sentuh pipinya. Aku sadar betapa aku akan kehilangan dia ketika ia pindah ke Sumatera. Tidak lama kemudian, matanya terbuka dan ia mengangkat tangan kanannya ke depanku. Abi membuka kepalan tangannya dan sebuah benda bulat berwarna emas terombang-ambing di atas telapak tangannya. Aku tau apa itu, aku terkejut dan banyak air masuk ke dalam mulutku. Aku tersedak, kemudian langsung mengeluarkan kepalaku ke permukaan air sambil terbatuk-batuk. Abi menyusul tidak lama kemudian dengan ngos-ngosan karena cukup lama menahan napas di dalam air.
Aku tidak berani menatapnya, aku hanya memperhatikan cincin yang ada di tangannya.
"Cincin ini akan selalu mengikat aku ke manapun aku pergi. Ketika lihat cincin ini, kamu harus selalu percaya kalo aku akan ada di dekat kamu setiap saat."
"Abi?" aku meneteskan air mata sambil tertawa tidak percaya.
"Will you marry me and have some kids with me, someday?" lanjutnya tanpa menghiraukan mataku yang mulai merah karena menangis.
Aku mengangguk cepat. "Kamu nggak perlu nanya, Bi, aku akan selalu percaya!"
Tangan kiri Abi mengangkat jari manis kiriku dan memasangkannya. Ia memperhatikan cincin itu di jariku kemudian tersenyum. Abi kembali menatapku. "I love you."
"I love you more."
Sejak hari itu aku tidak pernah kehilangan kepercayaan kepada Abi. Dia mungkin akan pergi berbulan-bulan, bertahun-tahun, tapi aku tau, Abi akan selalu kembali padaku.

Introducing Me

Hai!
Pada blog ini, nama saya adalah Andara Putri, you can call me Dara. But, to be honest, it's not my real name :D
Saya hanya anak SMA di daerah Jakarta Selatan. Saya sangat suka menonton film, mostly romantic kind of movies. Saya juga suka membaca buku dan travelling.
Sejak lama saya memiliki hobi dalam menulis cerpen, novel, every kind of writing. Sayangnya, saya masih kurang berani menunjukan tulisan-tulisan saya kepada orang lain, mungkin hanya sekitar 5 orang yang bisa saya tunjukan. Menurut mereka, tulisan saya semakin lama semakin membaik dan mereka meminta saya untuk mulai mempublikasikan tulisan saya. Satu sisi saya sangat menginginkannya, namun di sisi lain saya masih merasa malu untuk menunjukkannya pada orang lain, apalagi orang banyak.
Karena itu, tiba-tiba muncul sebuah ide untuk membuat blog dan mem-post tulisan saya pada blog itu namun dengan nama samaran. Saya sangat mengharapkan banyak pembaca yang puas. Dan jika saya mendapat feedback yang cukup positif, mungkin saya akan memikirkan kembali rencana untuk mempublikasikan tulisan saya. Saya harap tidak ada pihak yang salah paham.
So enjoy my blog. Thank you :)

Best regards,
The Writer