Aku terbangun ketika mendengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.
"Okay, okay!" aku menggeliat malas.
Ketukan itu kembali terdengar, membuatku berdiri dengan malasnya dari tempat tidur. Aku membuka pintu kamar dan mama sudah berdiri di depanku.
"Ganti baju, Abi sudah nunggu di halaman belakang," mama berkata dengan lembutnya, kemudian pergi meninggalkanku begitu saja. Aku yang masih setengah bangun berusaha mencerna kata-kata mama. Aku lihat jam dinding di dalam kamarku. Ya Tuhan, ini hari Minggu dan Abi sudah datang ke rumahku jam 7 pagi! Kayaknya dia ngerjain aku aja.
Aku mengganti pakaian piyamaku dengan celana pendek dan kaos santai. Aku bahkan belum mencuci muka dan menyikat gigiku, namun akhirnya aku memutuskan untuk langsung turun ke lantai bawah dan segera menuju ke taman belakang.
Aku lihat Abi, laki-laki yang sudah menjadi kekasihku selama 2 tahun terakhir, sedang duduk santai di tepi kolam renang. Ia sedang melamun dan kehadiranku menyadarkannya.
Abi tertawa melihat wajah kucel sekaligus cemberutku.
"Kamu ngapain muncul jam segini?" tanyaku jutek padanya.
Ia tersenyum dan menepuk bangku di sebelahnya, memintaku duduk bersamanya. Aku menuruti saja permintaannya.
"Ada apa?" aku kembali bertanya.
Ia tampak malu mengatakan sesuatu. "Aku mau ngasih tau kamu sesuatu."
Aku mencoba membaca gelagatnya yang menurutku aneh. Dan kemudian sesuatu muncul dalam kepalaku. Aku setengah menjerit, "Kamu dapet kerjaan itu?!"
Aku dan Abi bertemu di kampus kami 3 tahun yang lalu. Ketika itu aku baru memasuki tahun pertama dan Abi sudah memasuki tahun ketiga. Dua tahun yang lalu Abi lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, namun ia memutuskan untuk tidak serius bekerja. Abi hanya mencari beberapa lowongan magang sambil kerja sambilan sebagai outdoor photographer. Sampai akhirnya sebulan yang lalu ia mendapatkan tawaran pekerjaan yang, menurutku, sangat hebat untuk orang seumurannya.
Abi tampak berbinar-binar dan kemudian ia mengangguk. "I got the job!"
Aku berteriak kencang, bahagia atas keberhasilannya. Aku langsung memeluknya erat-erat dengan perasaan bangga. "Kamu hebat banget!"
"Tapi masih ada yang mau aku kasih tau lagi," suaranya kali ini terdengar lebih kalem.
Aku melepaskan pelukanku. "Apa?"
Abi menghela napas panjang. Wajahnya tersenyum lembut, senyuman yang selalu membuatku luluh. "Sebelum aku kerja, mereka mau ngebiayain aku kuliah di Belanda selama beberapa tahun, and then they'll send me to Sumatera."
Aku terkejut, namun aku berusaha mengontrol emosiku. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi dan masih berusaha untuk tersenyum excited.
"Mereka mau membuka cabang perusahaan baru di Sumatera, dan mereka mau aku yang mimpin di sana. Walaupun aku masih muda, tapi aku udah cukup memenuhi harapan mereka."
Aku masih berusaha mengontrol diri. Aku harus ngomong. "Tapi Belanda dan kemudian Sumatera, Bi? Kapan kamu akan pulang?"
Abi mengangkat bahunya dengan ragu. "Ketika di Belanda, mungkin setiap tahun. Di Sumatera, sebulan, dua bulan. Tapi nggak akan lebih dari tiga bulan!" katanya berusaha meyakinkanku.
Aku mengangguk. "Ya, ya, aku percaya kok." Aku berkaca-kaca dan berusaha menutupinya dengan menunduk, namun aku yakin ia menyadarinya.
Abi kembali menghela napas. Ia menyentuh pipiku dengan lembut. "Hey, hey, jangankan dari Belanda, dari ujung dunia pun aku pasti akan langsung pulang ketika kamu butuh aku."
Aku tersenyum pahit. "Kita nggak pernah pisah lebih dari seminggu selama 2 tahun terakhir, Bi! Aku nggak tau..."
"Kita udah sama-sama dewasa. Kamu tau apa yang aku mau," Abi merangkulku, "aku mau nikah sama kamu, aku mau kita punya anak kembar," Abi tertawa kecil, "jadi jangan pernah berpikir bahwa ini akhir dari semuanya, hanya karena kita akan tinggal berjauhan. Buat aku, ini awal yang sesungguhnya."
Aku masih tertunduk diam. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa kami akan baik-baik saja, namun aku tidak cukup berani untuk percaya.
"Sekarang tutup mata kamu deh," pintanya.
Aku menurutinya. Selama beberapa lama aku tidak mendengar apapun. Sampai akhirnya suara suatu benda masuk ke dalam sekumpulan air dengan keras. Ada yang masuk ke dalam kolam renang rumahku. Aku langsung membuka mata. Abi tidak lagi duduk di sebelahku, namun kemudian aku lihat bayangan dalam kolam renang. Abi ingin main-main di saat kayak gini?
Aku akhirnya menyeburkan diri ke dalam kolam renang juga. Di dalam air aku melihat Abi diam saja, matanya tertutup. Aku pikir ia hanya bercanda saja. Aku sentuh pipinya. Aku sadar betapa aku akan kehilangan dia ketika ia pindah ke Sumatera. Tidak lama kemudian, matanya terbuka dan ia mengangkat tangan kanannya ke depanku. Abi membuka kepalan tangannya dan sebuah benda bulat berwarna emas terombang-ambing di atas telapak tangannya. Aku tau apa itu, aku terkejut dan banyak air masuk ke dalam mulutku. Aku tersedak, kemudian langsung mengeluarkan kepalaku ke permukaan air sambil terbatuk-batuk. Abi menyusul tidak lama kemudian dengan ngos-ngosan karena cukup lama menahan napas di dalam air.
Aku tidak berani menatapnya, aku hanya memperhatikan cincin yang ada di tangannya.
"Cincin ini akan selalu mengikat aku ke manapun aku pergi. Ketika lihat cincin ini, kamu harus selalu percaya kalo aku akan ada di dekat kamu setiap saat."
"Abi?" aku meneteskan air mata sambil tertawa tidak percaya.
"Will you marry me and have some kids with me, someday?" lanjutnya tanpa menghiraukan mataku yang mulai merah karena menangis.
Aku mengangguk cepat. "Kamu nggak perlu nanya, Bi, aku akan selalu percaya!"
Tangan kiri Abi mengangkat jari manis kiriku dan memasangkannya. Ia memperhatikan cincin itu di jariku kemudian tersenyum. Abi kembali menatapku. "I love you."
"I love you more."
Sejak hari itu aku tidak pernah kehilangan kepercayaan kepada Abi. Dia mungkin akan pergi berbulan-bulan, bertahun-tahun, tapi aku tau, Abi akan selalu kembali padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar