Minggu, 23 Januari 2011

Kami

"Del, besok prom."
Adel tersenyum kecil. "Iya, tau kok. Terus kenapa?"
"Emang harus ada pasangan ya? Kamu udah ada pasangan?"
"Kamu sendiri udah ada?" Adel berusaha terdengar tenang. Ya Tuhan, jangan bilang Bima mau ngajak aku!! Panik!
Bima melengos sambil tertawa kecil. "Mana ada yang mau sama aku." Ia kembali menatap Adel.
Aku mau, Bim, aku mau!!!!  "Berasa jelek ya, Bim?" Adel berpura-pura sinis pada cowok yang memenangkan predikat terganteng ketiga di angkatannya menurut voting buku tahunan. Tatapan Adel beralih pada gadis putih yang dikelilingi banyak cowok di ujung ruangan. "Udah coba ajak Najla?"
"Cewek murahan itu?" Bima memutar bola matanya namun raut wajahnya tetap terlihat kalem, "Mending nggak usah pergi."
Adel tertawa kecil. "Jahat banget kamu. Itu mantan kamu lho. Dan sebenarnya dia baik kok sama aku tapi mungkin terlalu...agresif?"
"Hati-hati kamu dimanipulasi dia!" nada bicara Bima terdengar seperti anak kecil.
Adel dan Bima tertawa bersama ketika menyadari kata-kata Bima yang sebenarnya, harus diakui, benar. Mereka terdiam sebentar. Kemudian saling menatap lagi.
"Kamu nggak pergi sama Toni? Dia keterima di universitas impiannya di Jogja lho dan dia akan pindah tiga hari lagi. Dan waktu itu dia cerita kalau dia mau ngajakin kamu balikan. Dia masih sayang sama kamu."
Kali ini Adel yang melengos kesal. "Sejak kapan kamu jadi temen curhatnya dia?"
Bima tersenyum kecil. "Jangan sinis gitu dong."
"Aku nggak suka." Adel tidak menatap mata Bima walau Bima berusaha mencari titik temu mata mereka berdua.
"Dia serius, Del, kalau enggak dia nggak akan nungguin kamu setiap hari pada masa persiapan wisuda kemarin ini." Bima menyapu rambut yang terjatuh di kening Adel dengan halus. Tatapannya penuh ketenangan.
Adel akhirnya menatap mata Bima. Tatapannya begitu sendu. "Aku pulang aja ya kalo nggak ada lagi yang mau kamu bicarain." Adel berjalan gontai, namun Bima menahan lengannya.
"Mau pergi prom dengan gue?"
Bima menunggu jawaban Adel, matanya terus menatap Adel yakin, tangannya masih menahan lengan Adel.
Adel tidak bisa menahan senyumannya. "Aku mau."
"Terima kasih," Bima tersenyum.

Adel's POV
Bima memang unpredictable buat aku. Dia muncul di saat aku berantakan menghadapi akhir hubunganku dengan Toni. Dan saat yang bersamaan dia datang padaku juga dengan hati yang hancur karena perdelingkuhan pacarnya, Najla. Kami bertemu untuk saling melengkapi dan menyembuhkan. Kami tidak pernah meresmikan hubungan ini tapi ini adalah saat-saat paling berbahagia untukku. Rasa yang menakjubkan setiap kali aku bertatapan dengannya, walau jarak kami sangat jauh, dan tiba-tiba saling tersenyum malu.

Bima's POV
Besok prom, malam terakhir di SMA. Malam terakhir gue bisa sama-sama Adel. Gue tau hal ini akan berakhir setelah gue pisah sama dia. Maybe I shouldn't be in this relationship from the first place. Hubungan tanpa status ini bukan hal yang nyata, ini bisa berakhir kapan aja. Dan bukannya menyembuhkan kita berdua tapi malah makin nyakitin. Tapi di sisi lain gue belum siap untuk masuk sepenuhnya ke dalam hubungan yang sesungguhnya, dan gue nggak yakin dia juga.
Cinta itu memang konyol. Sayang itu bukan perasaan yang nyata. Kami hanya fatang di saat yang tepat untuk saling mengisi. And it's gonna be over very soon.

Adel dan Bima duduk di luar gedung. Suara musik yang teredam dari dalam gedung seolah betada di luar dunia mereka masing-masing.
Tidak ada yang mereka katakan. Inilah fungsi mereka satu sama lain, hanya untuk menemani dan membuat mereka percaya bahwa mereka tidak sendiri menghadapi luka di hati.
Beberapa teman mereka keluar dari gedung, menuju taman di depan mereka untuk mulai mengambil makan malam yang disajikan di taman. Beberapa dari mereka menyapa dan tersenyum melihat ketenangan dua orang itu walau terkadang pertanyaan terus muncul mengenai hubungan mereka yang sesungguhnya.
"Mau diambilin nggak makannya?" Adel akhirnya membuka pembicaraan.
Bima nyengir lebar. "Hee, mau, makasih."
Adel tertawa. Ia berjalan mengambil makanan untuk Bima. Sesekali ia berbicara dengan temannya, namun tujuan utamanya hanya untuk mengambil makanan Bima. Ia kembali ke tempat duduknya kemudian menyerahkan sepiring nasi dan lauk pada Bima. Adel memperhatikan Bima mulai memakan makanannya.
"Kenapa?"

Adel's POV
Aku nggak pernah habis pikir kenapa Bima mau punya hubungan kayak gini sama aku. Aku dibandingin sama Najla, perbandingannya kayak langit dan bumi. Begitu juga Toni kalau dibandingin dengan Bima. Bima dan Najla adalah pasangan paling cocok karena sama-sama ganteng dan cantik. Aku dan Toni juga cocok karena kami sama-sama berbadan lebih dari ukuran normal remaja seumuran kami. Hanya satu kesamaan kami, kami sama-sama disakiti oleh mantan-mantan kami.
Toni tidak pernah malu jalan berdua denganku, dia tidak pernah malu menyebut namaku lembut kemudian berbicara seolah aku memang pacarnya, dia tidak pernah berhenti menatapku ataupun mendengarkan dan berbicara kepadaku. Dia memang seorang yang berhati baik dan tidak pernah menilai orang dari fisik.
Aku pengen dia tau kalau aku benar-benar ingin hubungan ini berlanjut terus dengan status yang jelas. Tapi apa dia juga menginginkan hal yang sama? Aku takut jika aku memaksakan keinginanku, aku akan kehilangan semua ini lebih cepat dari yang awalnya kami rencanakan.
Tapi aku sayang dia. Walau hanya 3 bulan, walau hubungan ini akan berakhir malam ini, aku selalu sayang dia.

"Kenapa apa?" Bima menatap Adel dengan tatapannya yang boyish.
Adel tertawa kecil. "Nggak apa-apa," ia memutuskan untuk tidak menanyakan pertanyaan yang 3 bulan terakhir terus menghantuinya.
Adel dan Bima kembali diam.

Bima's POV
Kami sering melalui momen ini ketika sedang berduaan. Momen dimana kami hanya diam saja. Tapi bukan diam yang canggung, melainkan diam menikmati ketenangan. Ya, gue akan selalu merasa tenang bersama dia. Gue nggak tau kapan lagi gue akan merasa setenang ini.
Dia nggak mungkin punya perasaan yang sama dengan gue. Dia mau menjalani semua ini hanya karena dia ngerasa kesepian, bukan karena memang dia beneran sayang sama gue. Tidak seperti gue sayang ke dia.

Bima melihat jam tangannya. Sudah pukul 11 malam. Gedung prom masih ramai.
4 jam terakhir ia dan Adel terus mondar-mandir keluar dan masuk gedung untuk setidaknya menunjukan bahwa mereka belum pulang. Walau sebenarnya mereka berdua bukan penyuka keramaian macam clubing seperti konsep prom mereka malam itu.
Adel dan Bima baru saja keluar untuk yang kelima kalinya pada satu jam terakhir. Kaki mereka melangkah menuju ke gerbang keluar. Mereka bisa pulang kapan saja mereka mau. Sesekali diam mereka diselingi canda kecil.
Bima menatap ke deretan parkiran mobil. "Aku pulang ya." Ia menatap Adel ragu.
Adel tersenyum kemudian mengangguk. Ia sangat tau bahwa Bima adalah tipe cowok rumahan.
"Tapi aku nungguin kamu dijemput dulu deh."
"Aku juga mau pulang kok bentar lagi dan supirku udah nunggu di parkiran depan." Adel menunjuk ke arah mobil di ujung jalan.
Bima mengantar Adel sampai ke mobilnya. Mereka saling menatap sesaat kemudian secara spontan Adel memeluk Bima erat. Bima tidak melawan, ia balas memeluknya.
"Makasih sudah bikin gue merasa berharga," Adel berkata sambil terus meletakan kepalanya di dada Bima.
Bima tertawa kecil. "Kamu memang berharga. Toni adalah orang bodoh karena pernah nyakitin kamu."
Adel melepaskan pelukannya. Ia ingin melihat senyuman Bima.
Bima menyapu rambut di kening Adel dengan senyumannya yang begitu lembut dan tenang.
"Good bye, Adel."
Bima membalikan badannya. Adel terdiam sambil terus menatap punggung Bima. Ia tau, semuanya sudah berakhir. Kemudian Adel masuk ke dalam mobilnya, ia duduk menatap ke luar jendela, lalu ia mengambil hamdphonenya, membuka contacts list nya, mencari nama Bima, memencet tombol delete. Dan Bima sudah pergi selamanya.
Dadanya sesak. Ia menunduk dan menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tqngannya. Adel menangis.

Adel's POV
Hari ini tepat memasuki tahun keduaku kuliah. Setiap hari aku terus teringat Bima dan, ya, kami sama sekali tidak pernah berhubungan lagi. Kemarin teman dekatku yang satu kampus dengan Bima mengunjungiku dan berkata bahwa Bima dulu juga memiliki perasaan yang sama denganku, namun ia takut aku menolaknya, menyakitinya lagi seperti yang sudah dilakukan Najla. Dan itu dulu.
Sekarang? Aku berusaha untuk move on. Walau masih terus teringat dan kangen pada Bima serta semua kenangan kami. Aku mencoba menjalani hiduplu sendiri, mencari orang yang tepat untukku. Aku belum menemukannya. Aku belum menjalani hubungan dengan siapapun lagi sejak hubungan terakhirku, hubungan yang akan selalu kukenang dan kubanggakan, hubunganlu dengan Bima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar